Awan cumulus menggayut tebal di atas bandara. Wennie yang baru saja tiba di ruang Baggage Claim bandara bersyukur karena pendaratan pesawat yang ia tumpangi berlangsung wajar yaitu ketika cuaca masih terbilang cukup aman. Kini, dengan cuaca yang sedikit kurang bersahabat, bisa jadi pendaratan pesawat-pesawat berikut dapat terganggu.
Saat menunggui koper dari bagasi pesawat untuk ia ambil, Wennie melirik flight schedule yang terpampang di layar LCD. Dugaannya benar. Sudah terlihat ada 2 jadwal pendaratan pesawat yang berubah.
Pandangannya sempat beradu dengan seorang pria. Dari perawakannya yang serba pirang dan aksen bicaranya, kemungkinan besar pria itu dari Jerman. Pria itu beberapa kali menyapa. Baik saat ia transit di Singapore maupun kini ketika telah mendarat. Wennie malas balas menyapa. Menurutnya, itu bisa berujung dengan ajakan kencan. Sesuatu yang ia tengah jauhi setelah pertunangannya dengan seorang usahawan Korea berakhir tahun lalu, disusul dengan putusnya pertalian kasih dengan rekan kerjanya empat bulan lalu. Kejadian itu masih segar. Membekas begitu dalam menyisakan kenangan pahit.
Sementara conveyor berisi berbagai tas, koper dan bungkusan terus berjalan, Wennie melihat melalui bayangan matanya. Posisi pria bule itu mendekat. Dirinya yakin. Pria itu pura-pura mendekat. Sial, pikirnya. Sulit bagi dirinya untuk menggeser posisi ia berdiri saat itu mengingat kondisi sudah terbilang padat.
Dan kemudian terjadilah seperti yang dirinya duga. Pria itu menanyakan sesuatua. Wennie – karena hanya sekedar bermaksud bersopansantun – kemudian membalas. Pria tadi bertanya lagi. Wennie menjawab kembali – walau hanya dengan sepatah kata. Si pria bule terlihat tidak mudah menyerah dan malah makin banyak bertanya-tanya.
Untunglah koper yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Wennie meraih secepat kilat, pamit pada si pria bule sebelum kemudian bergegas meninggalkan lokasi. Langkah kakinya panjang menuju pintu kaca bertuliskan ‘Exit’ yang menjadi penghubung dengan pelataran bandara.
Di sana, persis di sekitar pintu masuk, beberapa orang dari bagian travel mungkin, mengacungkan kertas-kertas berisi nama-nama orang yang akan mereka jemput. Mata elangnya mencari kesana-kemari. Berharap ada namanya disana. Tapi tidak ada. Saat ia memeriksa sekali lagi, namanya memang tidak ada.
Wennie kini berada di pelataran. Berbagai kendaraan hilir-mudik di depannya. Mobil pribadi, taksi, bis. Matanya masih terus mencari-cari. Namun bukan orang yang membawa label bertulis nama dirinya yang ia dapatkan, matanya malah tertumbuk ke pemandangan lain. Di sana, masih di ruang Baggage Claim yang tembus pandang, matanya melihat pria bule beraksen Jerman tadi yang kini nampak mendekati seorang gadis lain.
Dasar pria, pikirnya sembari sedikit menggeleng kepala.
Tak mau pusing, ia lalu mencari bangku untuk dirinya bisa sejenak beristirahat. Ia menemukan salah satu, duduk, dan kembali mencari-cari.
Saat melirik arlojinya, jam menunjukkan pukul 13.13 waktu Jakarta. Ia menghela nafas. Berharap ia tidak perlu menunggu terlalu lama.
Di luar sana, angin mulai menderu seiring hujan turun yang makin lama makin lebat.
Wennie menunggu. Dan menunggu.
Ketika waktu menunggu telah melewati 15 menit, bahkan 30 menit, sesuatu kemudian muncul dalam dirinya. Kejengkelan.
Sampai kapan ia harus menunggu?
***
Wilujeng Sumping...
Aduh, makasih banget udah mau dateng di blog sederhana ini. Jujur aja, ini blog yang seumur-umur baru gue buat. Jadi, kalo ada salah-salah kate, plis deh dimaapin. Harapan gue, elo betah dan balik lagi.
Gue janji untuk ke depannya (sampe akhir 2009), blog ini gue seriusin dan ada buku2 (bikinan gue tentunya) yang siap gue bagiin bagi yang mau atau bersedia ngebantu gue.
Sekali lagi: makasih, makasih, makasih...
Gue janji untuk ke depannya (sampe akhir 2009), blog ini gue seriusin dan ada buku2 (bikinan gue tentunya) yang siap gue bagiin bagi yang mau atau bersedia ngebantu gue.
Sekali lagi: makasih, makasih, makasih...
FRIENDS FOREVER
Friday, March 27, 2009
Chapter 1.4.
Kekesalan Arya mencapai angka 10. Sempurna.
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
Wednesday, March 25, 2009
Chapter 1.2.
Pintu rumah baru saja terbuka sebagian ketika ekor mata Eyya melihat sesuatu di baliknya. Ujung sepatu kets butut kepunyaan Ajab yang pasti tengah duduk di sofa di dekat situ.
“Bujubuneng. Hari gene udah nyamperin gue.”
Ajab cekikikan.
Pintu terbuka lebar dan mereka kini saling bertatapan. Di ujung sana, dekat pintu belakang, Fitri ikut tertawa kecil sambil menyantap makan malamnya. Eyya mendekat sebelum kemudian mencium kening gadis tadi.
Hermawan, ayah mereka, pasti belum pulang karena mobil taksi yang menjadi nafkah mereka tidak terlihat di pelataran depan rumah.
Sehabis menyerahkan martabak kesukaan Fitri, Eyya menyandarkan tubuh di sofa yang kini sudah nyaris tak menyisakan busa.
“Sebagai selebritis, elu kan butuh manajer artis.”
Alis Eyya menaik. “Sejak kapan elu jadi manajer artis gue?”
“Lah, kalo gak ada gue apa elu jadi ikutan audisi?”
“Jadi elu pikir gue ikutan itu karena bener-bener kepengen, gitu?” Eyya balik bertanya. “Dari dulu gue kan nggak niat. Wueeee.”
Fitri ikut terkikik. Menyusul Ajab yang terkekeh terlebih dahulu melihat sikap Eyya yang kekanakan.
“Gue kesini tuh dalam rangka persiapan elu di penampilan berikutnya. Gue nggak rela elu kalah sama peserta lain cuma karena masalah penampilan.”
Eyya tersedak. “Maksud lo?”
Ajab mendekatkan diri di sofa. “Sebagai manajer artis, gue ngerasa…”
“Manajer artis?”
“Elu koq protes melulu sih? Keberatan?”
“Ya terserah deh. Terusin coba.”
Rupanya dari tadi Ajab membawa suatu bingkisan.
“Gue bawa ini.”
“Apa tuh? Ayam bakar?”
“Elu tuh pikirannya elit dikit, knapa?” cetus Ajab berlagak marah. “Ini baju. Buat penampilan elu berikutnya. Jadi elu bisa nyanyi lebih afdol.”
Eyya menatap Ajab nyaris tanpa reaksi. “Man, gue tuh bisa nyanyi bagus pake baju apa aja.”
“Ngerti. Tapia pa itu berarti elu mau nyanyi pake kolor?”
“Ya nggak sedratis itu lah.”
“Mangkanya elu diem aja deh.”
Sesaat Eyya menurut. Ia hanya melihati saja ketika Ajab membuka bungkusan yang ia bawa. Sehelai kemeja lengan pendek berwarna biru tua kini dibentangkan di hadapan Eyya.
“Tadaaaaa….”
“Apanya yang tadaaa? Elu masih waras apa nggak sih?”
“Maksud lu?”
“Itu baju buruh pabrik kan? Baju waktu elu masih kerja di Cikarang tahun lalu sebelum elu lantas di-PHK? Gile lu coy, masa gue pake baju gituan?”
“Elu menghina?” Ajab keliatan agak kurang suka.
“Bukan menghina. Tapi, tapi …”
“Elu lebih sreg pake baju yang elu punya? Yang mana, hah? Baju warna ijo yang lipatan kerahnya udah bulukan? Baju lengan panjang kotak-kota item yang ada cipratan sambel sama kecapnya? Kemeja lengan pendek warna kuning yang keliatan bekas tambelan disana-sini? Atau kaos bekas kampanye? Baju lu yang bagus cuma yang garis-garis biru. Masa elu mau tampil ketigakalinya pake baju yang sama?”
Eyya diem.
Pasrah.
Omongan Ajab bener semua.
***
“Bujubuneng. Hari gene udah nyamperin gue.”
Ajab cekikikan.
Pintu terbuka lebar dan mereka kini saling bertatapan. Di ujung sana, dekat pintu belakang, Fitri ikut tertawa kecil sambil menyantap makan malamnya. Eyya mendekat sebelum kemudian mencium kening gadis tadi.
Hermawan, ayah mereka, pasti belum pulang karena mobil taksi yang menjadi nafkah mereka tidak terlihat di pelataran depan rumah.
Sehabis menyerahkan martabak kesukaan Fitri, Eyya menyandarkan tubuh di sofa yang kini sudah nyaris tak menyisakan busa.
“Sebagai selebritis, elu kan butuh manajer artis.”
Alis Eyya menaik. “Sejak kapan elu jadi manajer artis gue?”
“Lah, kalo gak ada gue apa elu jadi ikutan audisi?”
“Jadi elu pikir gue ikutan itu karena bener-bener kepengen, gitu?” Eyya balik bertanya. “Dari dulu gue kan nggak niat. Wueeee.”
Fitri ikut terkikik. Menyusul Ajab yang terkekeh terlebih dahulu melihat sikap Eyya yang kekanakan.
“Gue kesini tuh dalam rangka persiapan elu di penampilan berikutnya. Gue nggak rela elu kalah sama peserta lain cuma karena masalah penampilan.”
Eyya tersedak. “Maksud lo?”
Ajab mendekatkan diri di sofa. “Sebagai manajer artis, gue ngerasa…”
“Manajer artis?”
“Elu koq protes melulu sih? Keberatan?”
“Ya terserah deh. Terusin coba.”
Rupanya dari tadi Ajab membawa suatu bingkisan.
“Gue bawa ini.”
“Apa tuh? Ayam bakar?”
“Elu tuh pikirannya elit dikit, knapa?” cetus Ajab berlagak marah. “Ini baju. Buat penampilan elu berikutnya. Jadi elu bisa nyanyi lebih afdol.”
Eyya menatap Ajab nyaris tanpa reaksi. “Man, gue tuh bisa nyanyi bagus pake baju apa aja.”
“Ngerti. Tapia pa itu berarti elu mau nyanyi pake kolor?”
“Ya nggak sedratis itu lah.”
“Mangkanya elu diem aja deh.”
Sesaat Eyya menurut. Ia hanya melihati saja ketika Ajab membuka bungkusan yang ia bawa. Sehelai kemeja lengan pendek berwarna biru tua kini dibentangkan di hadapan Eyya.
“Tadaaaaa….”
“Apanya yang tadaaa? Elu masih waras apa nggak sih?”
“Maksud lu?”
“Itu baju buruh pabrik kan? Baju waktu elu masih kerja di Cikarang tahun lalu sebelum elu lantas di-PHK? Gile lu coy, masa gue pake baju gituan?”
“Elu menghina?” Ajab keliatan agak kurang suka.
“Bukan menghina. Tapi, tapi …”
“Elu lebih sreg pake baju yang elu punya? Yang mana, hah? Baju warna ijo yang lipatan kerahnya udah bulukan? Baju lengan panjang kotak-kota item yang ada cipratan sambel sama kecapnya? Kemeja lengan pendek warna kuning yang keliatan bekas tambelan disana-sini? Atau kaos bekas kampanye? Baju lu yang bagus cuma yang garis-garis biru. Masa elu mau tampil ketigakalinya pake baju yang sama?”
Eyya diem.
Pasrah.
Omongan Ajab bener semua.
***
Tuesday, March 24, 2009
Bab 1.1.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Jalan Gentong Raya yang jadi pasar kagetan tiap Jumat mendadak heboh. Bukan Cuma sekedar berisik secara banyak yang jualan, tapi teriakan tadi ngebuat para pembeli dan penjual sayur-mayur, pedagang asongan sama tukang balon, serentak pada celingukan. Saking panik, beberapa orang saling tabrakan karena nggak tau mau kabur kemana.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Daftar orang yang celingukan pada bertambah. Tukang jual batu akik, bencong pengamen, dan juru parkir, masuk dalam kategori terakhir. Muka mereka sama. Panik. Tanpa nunggu aba-aba, beberapa pedagang kabur ninggalin kios ataupun dagangannya. Begitu juga pembelinya.
Tanpa kecuali Ade – cowok kiut yang gara-gara teriakan tadi buru-buru ninggalin makan siangnya yang masih belum selesai di warung tenda Bang Jori Kumis.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Sementara beberapa orang masih pada kabur ninggalin tempat, yang lainnya mukanya ketuju ke satu arah. Tapi setelah ditunggu-tunggu, nggak ada tanda-tanda munculnya orang tersebut. Semenit, dua menit berlalu. Tiga menit, lima menit. Mereka masih nunggu satu menit lagi sampe kemudian sama-sama sadar kalo mereka semua dikadalin.
Nah, pas mereka semua – para pedagang dan pembeli – kembali beraktifitas, baru mereka sadar sesuatu.
“Sialan! Gue dikadalin!” teriak Koh Abun sewaktu ngeliat daging ayamnya berkurang dua ekor.
“Gue juga!” gantian pedang tomat yang teriak. “Duit gue yang segepok di meja sekarang nggak ada!”
“Woooy! Voucher hape gue ada yang bawa kabur!”
“Sarung gue juga ilang!”
“Gigi palsu gue ada yang ngembat!”
Demikianlah. Daftar orang yang keilangan barang dan duit ternyata lumayan banyak.
“Sialan nih, ada yang ngerjain kita!”
“Kebakarannya bo’ongan!”
Orang-orang pada sebel. Tapi ternyata itu belum semuanya. Ade baru sadar kalo akibat ia buru-buru meninggalkan tempat, bajunya kecipratan saos dan kecap.
“Kurang asem!” cetusnya kesel, “gara-gara kejadian tadi baju gue rusak nih!”
Seorang pemuda kerempeng nimpalin. “Gue juga. Gue nggak sempat makan siomay, tukang jualnya udah kabur duluan! Sial…”
“Itu nggak seberapa,” seorang pemuda berteriak dari balik pintu bertulisan ‘Barber Shop’. “Yang paling kesel tuh gue, tau?!”
“Kenapa emangnya pak?” tanya Ade penasaran.
Pemuda yang berteriak tadi kini muncul di depan mereka semua. “Tukang cukurnya juga kabur. Nah terus, masa gue musti pulang dalam keadaan begini?” cetusnya sambil nunjuk kepalanya yang baru ½ kecukur.
***
Jalan Gentong Raya yang jadi pasar kagetan tiap Jumat mendadak heboh. Bukan Cuma sekedar berisik secara banyak yang jualan, tapi teriakan tadi ngebuat para pembeli dan penjual sayur-mayur, pedagang asongan sama tukang balon, serentak pada celingukan. Saking panik, beberapa orang saling tabrakan karena nggak tau mau kabur kemana.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Daftar orang yang celingukan pada bertambah. Tukang jual batu akik, bencong pengamen, dan juru parkir, masuk dalam kategori terakhir. Muka mereka sama. Panik. Tanpa nunggu aba-aba, beberapa pedagang kabur ninggalin kios ataupun dagangannya. Begitu juga pembelinya.
Tanpa kecuali Ade – cowok kiut yang gara-gara teriakan tadi buru-buru ninggalin makan siangnya yang masih belum selesai di warung tenda Bang Jori Kumis.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Sementara beberapa orang masih pada kabur ninggalin tempat, yang lainnya mukanya ketuju ke satu arah. Tapi setelah ditunggu-tunggu, nggak ada tanda-tanda munculnya orang tersebut. Semenit, dua menit berlalu. Tiga menit, lima menit. Mereka masih nunggu satu menit lagi sampe kemudian sama-sama sadar kalo mereka semua dikadalin.
Nah, pas mereka semua – para pedagang dan pembeli – kembali beraktifitas, baru mereka sadar sesuatu.
“Sialan! Gue dikadalin!” teriak Koh Abun sewaktu ngeliat daging ayamnya berkurang dua ekor.
“Gue juga!” gantian pedang tomat yang teriak. “Duit gue yang segepok di meja sekarang nggak ada!”
“Woooy! Voucher hape gue ada yang bawa kabur!”
“Sarung gue juga ilang!”
“Gigi palsu gue ada yang ngembat!”
Demikianlah. Daftar orang yang keilangan barang dan duit ternyata lumayan banyak.
“Sialan nih, ada yang ngerjain kita!”
“Kebakarannya bo’ongan!”
Orang-orang pada sebel. Tapi ternyata itu belum semuanya. Ade baru sadar kalo akibat ia buru-buru meninggalkan tempat, bajunya kecipratan saos dan kecap.
“Kurang asem!” cetusnya kesel, “gara-gara kejadian tadi baju gue rusak nih!”
Seorang pemuda kerempeng nimpalin. “Gue juga. Gue nggak sempat makan siomay, tukang jualnya udah kabur duluan! Sial…”
“Itu nggak seberapa,” seorang pemuda berteriak dari balik pintu bertulisan ‘Barber Shop’. “Yang paling kesel tuh gue, tau?!”
“Kenapa emangnya pak?” tanya Ade penasaran.
Pemuda yang berteriak tadi kini muncul di depan mereka semua. “Tukang cukurnya juga kabur. Nah terus, masa gue musti pulang dalam keadaan begini?” cetusnya sambil nunjuk kepalanya yang baru ½ kecukur.
***
Bab 1.3.2.
"Kakak Eyya."
"Ada apa Cinta?"
"Kakak."
"Iyaaa."
"Kakak."
Buat orang yang belum pernah kenal atau mendengar Fitri berbicara, pasti akan menganggap aneh anak yang sebentar lagi berumur 8 tahun itu. Tapi tidak demikian buat Eyya. Sebaliknya rasa capek dan pusing akibat pekerjaan di kantor yang belum setahun dijalaninya, sirna lebih cepat saat mendengar suara Cinta - panggilan sayang khususnya pada Fitri. Autis yang dideritanya sejak lahir justeru membuat cintanya begitu besar pada Fitri yang besok lusa mulai duduk di bangku SD.
"Mmm, ka-kak udah ma-kan belum?"
"Belum."
"O." Terdengar suara menggumam di ujung sana. Tidak jelas apa yang dikatakan. Bagi Eyya yang sudah amat mengenal autis adiknya, ia tidak perlu mengejar apa yang gumamkan.
"Apih sudah pulang?" Eyya menanyakan ayah mereka.
"Be-lum. Eh, kak-ak nanti pulang jam bela-pa?" tanya Fitri mengembalikan ke topik pembicaraan semula.
"Kalo nggak lembur, jam 6. Kenapa?"
"Nanti bawa sesuatu ya, Kak?"
"Sesuatunya apa kali ini? Martabak? Buku?"
"Mal-tabak, kak."
"Oke, oke. Eh, Fitri udah siap sekolah kan?"
Nada ceria yang sejak awal terdengar di setiap desah nafas Fitri kini seketika lenyap. Eyya yang sudah sangat mengenal tabiat adiknya hanya bisa menerka. "Koq diem?"
"Fitli diganggu la-gi, kak."
"Diganggu lagi? Sama siapa?"
Tidak terdengar suara. Eyya mencoba memanggil. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tak terdengar tanggapan. Hanya isak sebagai gantinya. Sesaat kemudian, di ujung sana, Fitri memutus pembicaraan dengan mematikan panggilan telpon selulernya.
***
"Ada apa Cinta?"
"Kakak."
"Iyaaa."
"Kakak."
Buat orang yang belum pernah kenal atau mendengar Fitri berbicara, pasti akan menganggap aneh anak yang sebentar lagi berumur 8 tahun itu. Tapi tidak demikian buat Eyya. Sebaliknya rasa capek dan pusing akibat pekerjaan di kantor yang belum setahun dijalaninya, sirna lebih cepat saat mendengar suara Cinta - panggilan sayang khususnya pada Fitri. Autis yang dideritanya sejak lahir justeru membuat cintanya begitu besar pada Fitri yang besok lusa mulai duduk di bangku SD.
"Mmm, ka-kak udah ma-kan belum?"
"Belum."
"O." Terdengar suara menggumam di ujung sana. Tidak jelas apa yang dikatakan. Bagi Eyya yang sudah amat mengenal autis adiknya, ia tidak perlu mengejar apa yang gumamkan.
"Apih sudah pulang?" Eyya menanyakan ayah mereka.
"Be-lum. Eh, kak-ak nanti pulang jam bela-pa?" tanya Fitri mengembalikan ke topik pembicaraan semula.
"Kalo nggak lembur, jam 6. Kenapa?"
"Nanti bawa sesuatu ya, Kak?"
"Sesuatunya apa kali ini? Martabak? Buku?"
"Mal-tabak, kak."
"Oke, oke. Eh, Fitri udah siap sekolah kan?"
Nada ceria yang sejak awal terdengar di setiap desah nafas Fitri kini seketika lenyap. Eyya yang sudah sangat mengenal tabiat adiknya hanya bisa menerka. "Koq diem?"
"Fitli diganggu la-gi, kak."
"Diganggu lagi? Sama siapa?"
Tidak terdengar suara. Eyya mencoba memanggil. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tak terdengar tanggapan. Hanya isak sebagai gantinya. Sesaat kemudian, di ujung sana, Fitri memutus pembicaraan dengan mematikan panggilan telpon selulernya.
***
IH SEYEMMM....
Ade (hayo ini cewek apa cowok?) adalah anak pindahan dari sebuah desa kecil di Jateng. Begitu kecil en imutnya desa itu sehingga dijamin gak bakalan elu temuin di peta bola dunia seukuran bola tenis. Rada ganteng tapi udik abis, Si Ade yang nggak ada hubungan sama Ade Rai atau Ade Bing Slamet baru aja pindah ke Jakarta secara orangtuanya dipindahtugaskan. Istilah kantornya: di-mutilasi lah gitu (perasaan gue ngomong gitu ada yg salah deh).
Suatu saat Ade dalam suatu kesempatan berkenalan dengan Meisy. Niat Ade mah cuma kenalan. Gak taunya, ada yang nggak seneng dengan perkenalan Ade-Meisy yaitu Bobi, abangnya Meisy. Asal tau aja, Bobi itu adalah ketua Gang Bajing yang mulai dari ketua, anggota sampe asisten ketua, semua berasal dari Kampung Ciblon. Sebuah daerah slum, kumuh, yang 90% anggota masyarakat berprofesi ‘khusus’ yaitu: maling, pencopet, tukang palak sampe penjaja cinta kelas gapi (lebih murah dari teri). Kalopun ada jabatan yang lebih ‘halus’ seperti timer, polisi cepek, atau pengamen, ujung2nya sama juga: mereka malakin/minta duit orang.
Sebetulnya nggak ada alesan buat Ade nerusin hubungan dengan Meisy. Pikirnya, buat apa dirinya harus repot2 berhadapan dengan Gang Bajing yang nyeremin dan suka bikin teror itu? Dalam keluguannya, Ade - bukan karena takut sama Gang Bajing - mulai ngejauhin Meisy. Tapppiii, ternyata begitu Ade menjauh, masalah baru muncul lagi: Bobi justeru sekarang kepinginnya Ade seriusin hubungannya dengan Meisy. Kenapa? Ini karena Bobi kagum dengan pendekatan Ade sewaktu mendamaikan Gang Bajing dengan lawannya, Gang Ciblon, yang dilakukan tanpa kekerasan.
Sekarang Ade jadi takut sendiri. Masalahnya, Bobi rada maksa supaya dirinya deket dengan Meisy padahal Ade Ade sendiri masih belum bisa menilai perasaannya sendiri terhadap Meisy: apakah maunya sekedar temen atau gimana. Tapi untuk dirinya ngebantah Bobi, Ade nggak berani. Maklum lah, Bobi kan preman. Ade jelas gak berani ngadepin dia. Kalo nanti dikelitikin orang satu Gang, kan seyemmm….!
Suatu saat Ade dalam suatu kesempatan berkenalan dengan Meisy. Niat Ade mah cuma kenalan. Gak taunya, ada yang nggak seneng dengan perkenalan Ade-Meisy yaitu Bobi, abangnya Meisy. Asal tau aja, Bobi itu adalah ketua Gang Bajing yang mulai dari ketua, anggota sampe asisten ketua, semua berasal dari Kampung Ciblon. Sebuah daerah slum, kumuh, yang 90% anggota masyarakat berprofesi ‘khusus’ yaitu: maling, pencopet, tukang palak sampe penjaja cinta kelas gapi (lebih murah dari teri). Kalopun ada jabatan yang lebih ‘halus’ seperti timer, polisi cepek, atau pengamen, ujung2nya sama juga: mereka malakin/minta duit orang.
Sebetulnya nggak ada alesan buat Ade nerusin hubungan dengan Meisy. Pikirnya, buat apa dirinya harus repot2 berhadapan dengan Gang Bajing yang nyeremin dan suka bikin teror itu? Dalam keluguannya, Ade - bukan karena takut sama Gang Bajing - mulai ngejauhin Meisy. Tapppiii, ternyata begitu Ade menjauh, masalah baru muncul lagi: Bobi justeru sekarang kepinginnya Ade seriusin hubungannya dengan Meisy. Kenapa? Ini karena Bobi kagum dengan pendekatan Ade sewaktu mendamaikan Gang Bajing dengan lawannya, Gang Ciblon, yang dilakukan tanpa kekerasan.
Sekarang Ade jadi takut sendiri. Masalahnya, Bobi rada maksa supaya dirinya deket dengan Meisy padahal Ade Ade sendiri masih belum bisa menilai perasaannya sendiri terhadap Meisy: apakah maunya sekedar temen atau gimana. Tapi untuk dirinya ngebantah Bobi, Ade nggak berani. Maklum lah, Bobi kan preman. Ade jelas gak berani ngadepin dia. Kalo nanti dikelitikin orang satu Gang, kan seyemmm….!
Monday, March 23, 2009
Bab 1.3.1.
Keluar ruang rapat, Eyya belum apa-apa udah dikerubungin orang. Ada Kay, Togap, Afif sama Vita. Tanpa nunggu mereka ngomong apa, Eyya sudah tahu lebih dulu apa yang mereka mau sampaikan.
"Gile, keren banget lu semalem."
"Elu ngaku di kantor sibuk-sibuk-sibuk. Nyatanya masih sempat latihan lu ya?"
"Penampilan lu asik. Kontestan lain putus deh kayaknya kalo di-compare sama elu."
"Berikutnya lagu apa neh?"
"Kalo boleh gue minta, berikutnya elu nyanyiin lagu-nya Ello ya? Plis?"
"Peter Pan!"
"Andra and the Backbone!"
"Ungu! Cokelat! Pink atau Biru dongker juga mau."
Eyya cuma senyum-senyum kecil. Bangga juga dia. Sedikit.
Ya.
Kejadian tempo hari ketika dirinya dijebak Ajab mengikuti audisi Vocalist Indonesia 2009 secara mendadak, akhirnya ia ikuti juga. Itupun dirinya hampir ditolak panitia karena tidak menjawab panggilan ketika sudah diultimatum. Tapi dasar Ajab yang memang pintar berkelit, Eyya kemudian bisa juga mengikuti audisi. Audisi yang tanpa disangka-sangka mengantarnya untuk masuk ke babak berikut setelah menyisihkan ribuan peserta. Beruntung lokasi KKTV sebagai penyelanggara acara hanya 1/4 jam berjalankaki dari rumahnya. Akibatnya, ia tidak perlu menyewa tempat kos seperti dilakukan beberapa peserta lain khususnya yang berasal dari luar kota.
Sambil terus berjalan menyusuri lorong gedung, Eyya menjawab sebisanya. "Gue belum tau nanti nyanyi lagu apa. Biasanya panitia yang nyiapin."
"Kapan lagi kamu tampil?" Togap yang tidak pernah ber-elu-gue menimpali.
"Minggu depan lah."
"Butuh dukungan SMS gak?"
"Ya butuh. Tapi gue nggak mau maksain mendongkrak perolehan suara dengan SMS-SMSan."
"Knapa?" cetus Vita.
"Pertama gue bukan orang kaya sehingga nggak sanggup beli pulsa sampe berjut-jut. Dan kedua gue gak mau nodong orang lain buat ngirim kalo tu orang gak mampu."
Terdengar suara 'uuuu' serentak yang bernada mendukung keputusan Eyya.
Mereka berpisah di pertigaan yang membawa Eyya sendiri ke kubikal tempatnya bekerja. Ketika baru saja ia duduk, secarik kertas 'post it' warna kuning menyala menarik perhatiannya. Kertas itu menempel di monitor komputer.
Isi pesannya singkat saja. Ada pesan telpon dari adiknya.
Setelah memeriksa jadwal tugas dan yakin bahwa tidak ada yang urgent, ia meraih gagang telpon.
Selang setengah menit kemudian terdengar suara dari ujung sana. Suara Fitri adiknya. Penderita Autis yang menjadi motivator perjuangan hidup dirinya dan juga ayahnya selama ini.
"Halo Cinta."
***
"Gile, keren banget lu semalem."
"Elu ngaku di kantor sibuk-sibuk-sibuk. Nyatanya masih sempat latihan lu ya?"
"Penampilan lu asik. Kontestan lain putus deh kayaknya kalo di-compare sama elu."
"Berikutnya lagu apa neh?"
"Kalo boleh gue minta, berikutnya elu nyanyiin lagu-nya Ello ya? Plis?"
"Peter Pan!"
"Andra and the Backbone!"
"Ungu! Cokelat! Pink atau Biru dongker juga mau."
Eyya cuma senyum-senyum kecil. Bangga juga dia. Sedikit.
Ya.
Kejadian tempo hari ketika dirinya dijebak Ajab mengikuti audisi Vocalist Indonesia 2009 secara mendadak, akhirnya ia ikuti juga. Itupun dirinya hampir ditolak panitia karena tidak menjawab panggilan ketika sudah diultimatum. Tapi dasar Ajab yang memang pintar berkelit, Eyya kemudian bisa juga mengikuti audisi. Audisi yang tanpa disangka-sangka mengantarnya untuk masuk ke babak berikut setelah menyisihkan ribuan peserta. Beruntung lokasi KKTV sebagai penyelanggara acara hanya 1/4 jam berjalankaki dari rumahnya. Akibatnya, ia tidak perlu menyewa tempat kos seperti dilakukan beberapa peserta lain khususnya yang berasal dari luar kota.
Sambil terus berjalan menyusuri lorong gedung, Eyya menjawab sebisanya. "Gue belum tau nanti nyanyi lagu apa. Biasanya panitia yang nyiapin."
"Kapan lagi kamu tampil?" Togap yang tidak pernah ber-elu-gue menimpali.
"Minggu depan lah."
"Butuh dukungan SMS gak?"
"Ya butuh. Tapi gue nggak mau maksain mendongkrak perolehan suara dengan SMS-SMSan."
"Knapa?" cetus Vita.
"Pertama gue bukan orang kaya sehingga nggak sanggup beli pulsa sampe berjut-jut. Dan kedua gue gak mau nodong orang lain buat ngirim kalo tu orang gak mampu."
Terdengar suara 'uuuu' serentak yang bernada mendukung keputusan Eyya.
Mereka berpisah di pertigaan yang membawa Eyya sendiri ke kubikal tempatnya bekerja. Ketika baru saja ia duduk, secarik kertas 'post it' warna kuning menyala menarik perhatiannya. Kertas itu menempel di monitor komputer.
Isi pesannya singkat saja. Ada pesan telpon dari adiknya.
Setelah memeriksa jadwal tugas dan yakin bahwa tidak ada yang urgent, ia meraih gagang telpon.
Selang setengah menit kemudian terdengar suara dari ujung sana. Suara Fitri adiknya. Penderita Autis yang menjadi motivator perjuangan hidup dirinya dan juga ayahnya selama ini.
"Halo Cinta."
***
Subscribe to:
Posts (Atom)