Kekesalan Arya mencapai angka 10. Sempurna.
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
No comments:
Post a Comment