Awan cumulus menggayut tebal di atas bandara. Wennie yang baru saja tiba di ruang Baggage Claim bandara bersyukur karena pendaratan pesawat yang ia tumpangi berlangsung wajar yaitu ketika cuaca masih terbilang cukup aman. Kini, dengan cuaca yang sedikit kurang bersahabat, bisa jadi pendaratan pesawat-pesawat berikut dapat terganggu.
Saat menunggui koper dari bagasi pesawat untuk ia ambil, Wennie melirik flight schedule yang terpampang di layar LCD. Dugaannya benar. Sudah terlihat ada 2 jadwal pendaratan pesawat yang berubah.
Pandangannya sempat beradu dengan seorang pria. Dari perawakannya yang serba pirang dan aksen bicaranya, kemungkinan besar pria itu dari Jerman. Pria itu beberapa kali menyapa. Baik saat ia transit di Singapore maupun kini ketika telah mendarat. Wennie malas balas menyapa. Menurutnya, itu bisa berujung dengan ajakan kencan. Sesuatu yang ia tengah jauhi setelah pertunangannya dengan seorang usahawan Korea berakhir tahun lalu, disusul dengan putusnya pertalian kasih dengan rekan kerjanya empat bulan lalu. Kejadian itu masih segar. Membekas begitu dalam menyisakan kenangan pahit.
Sementara conveyor berisi berbagai tas, koper dan bungkusan terus berjalan, Wennie melihat melalui bayangan matanya. Posisi pria bule itu mendekat. Dirinya yakin. Pria itu pura-pura mendekat. Sial, pikirnya. Sulit bagi dirinya untuk menggeser posisi ia berdiri saat itu mengingat kondisi sudah terbilang padat.
Dan kemudian terjadilah seperti yang dirinya duga. Pria itu menanyakan sesuatua. Wennie – karena hanya sekedar bermaksud bersopansantun – kemudian membalas. Pria tadi bertanya lagi. Wennie menjawab kembali – walau hanya dengan sepatah kata. Si pria bule terlihat tidak mudah menyerah dan malah makin banyak bertanya-tanya.
Untunglah koper yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Wennie meraih secepat kilat, pamit pada si pria bule sebelum kemudian bergegas meninggalkan lokasi. Langkah kakinya panjang menuju pintu kaca bertuliskan ‘Exit’ yang menjadi penghubung dengan pelataran bandara.
Di sana, persis di sekitar pintu masuk, beberapa orang dari bagian travel mungkin, mengacungkan kertas-kertas berisi nama-nama orang yang akan mereka jemput. Mata elangnya mencari kesana-kemari. Berharap ada namanya disana. Tapi tidak ada. Saat ia memeriksa sekali lagi, namanya memang tidak ada.
Wennie kini berada di pelataran. Berbagai kendaraan hilir-mudik di depannya. Mobil pribadi, taksi, bis. Matanya masih terus mencari-cari. Namun bukan orang yang membawa label bertulis nama dirinya yang ia dapatkan, matanya malah tertumbuk ke pemandangan lain. Di sana, masih di ruang Baggage Claim yang tembus pandang, matanya melihat pria bule beraksen Jerman tadi yang kini nampak mendekati seorang gadis lain.
Dasar pria, pikirnya sembari sedikit menggeleng kepala.
Tak mau pusing, ia lalu mencari bangku untuk dirinya bisa sejenak beristirahat. Ia menemukan salah satu, duduk, dan kembali mencari-cari.
Saat melirik arlojinya, jam menunjukkan pukul 13.13 waktu Jakarta. Ia menghela nafas. Berharap ia tidak perlu menunggu terlalu lama.
Di luar sana, angin mulai menderu seiring hujan turun yang makin lama makin lebat.
Wennie menunggu. Dan menunggu.
Ketika waktu menunggu telah melewati 15 menit, bahkan 30 menit, sesuatu kemudian muncul dalam dirinya. Kejengkelan.
Sampai kapan ia harus menunggu?
***
Wilujeng Sumping...
Aduh, makasih banget udah mau dateng di blog sederhana ini. Jujur aja, ini blog yang seumur-umur baru gue buat. Jadi, kalo ada salah-salah kate, plis deh dimaapin. Harapan gue, elo betah dan balik lagi.
Gue janji untuk ke depannya (sampe akhir 2009), blog ini gue seriusin dan ada buku2 (bikinan gue tentunya) yang siap gue bagiin bagi yang mau atau bersedia ngebantu gue.
Sekali lagi: makasih, makasih, makasih...
Gue janji untuk ke depannya (sampe akhir 2009), blog ini gue seriusin dan ada buku2 (bikinan gue tentunya) yang siap gue bagiin bagi yang mau atau bersedia ngebantu gue.
Sekali lagi: makasih, makasih, makasih...
FRIENDS FOREVER
Friday, March 27, 2009
Chapter 1.4.
Kekesalan Arya mencapai angka 10. Sempurna.
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
Bukan kekesalan karena masalah di rumah, atau hubungan dengan sahabatnya tengah renggang. Bukan. Kekesalannya adalah karena Boss memintanya melakukan suatu tugas yang seharusnya – menurut Arya – tidak termasuk sebagai deskripsi tugas. Pikiran Arya sesaat melayang ke kejadian setengah jam lalu.
“Hei! Penyanyi idola, sini kamu!” panggil Sang Boss.
Sejak ikut audisi, nama panggilannya banyak berubah. Terkadang ia dipanggil Penyanyi idola lah, vokalis beken lah, artis pujaan lah.
“Ya pak?” katanya setelah memasuki ruang kerja Pak Ramdan, Sang Boss.
Semenit berikutnya beliau lantas memberitahu sesuatu. Wennie Chan, customer tiga besar yang berasal dari Taiwan, segera tiba di Jakarta. Untuk maksud itu Arya diminta untuk menjemput di airport.
“Saya musti ngejemput Wennie di aiport?” tanyanya setengah tak percaya. “Kirain dia dateng minggu depan. Hari ini juga?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Pak Ramdan, sang Boss, memang belakangan ini suka sekali mengucap kalimat tadi. Entah karena ingin terlihat gaul atau memang gaul sungguhan mengingat usinya yang ABG – Anak Baru Gocap alias lima puluh.
“Nggak bisa minta tolong driver, Boss?”
“Kita masih ada satu mobil operasional. Tapi supir kita pada sibuk semua. Pak Junri lagi nganter anak R&D ke Badan POM. Pak Soleh sakit. Turun bero katanya. Dan satu lagi, paaak…anu… paaaak… sopo sih jenenge? Yang orang baru itu lho.”
Melihat Pak Ramdan terlihat sulit mengingat sesuatu, Arya spontan membantu. “Obama?”
“Iya, Pak Obama. Koq lali sih aku?” tanyanya retoris.
Akal bulus Arya mendadak muncul sekelebat. “Hebat ya tuh orang. Bisa jadi presiden Amrik.”
“Iya hebat.”
“Sudah begitu, dia ternyata pernah tinggal di Indonesia lagi.”
“Gitu ya?”
“Mmm, bapak ngikutin berita sewaktu beliau kampanye sewaktu jadi capres?”
“Nggak.”
“Seru lho, Pak.”
“Gitu ya?”
“Iya. Waduh, bapak ketinggalan berita nih,” cetusnya santai. Hubungan dirinya dengan Pak Ramdan memang akrab sehingga kesan formal pun hanya tersisa ketika mereka mengadakan rapat-rapat formal.
“Maklum. Sibuk.”
“Saya juga. Minggu ini kita banyak ekspor lho. Apalagi hari ini.”
“Hari ini?”
“Iya,” Arya tetap berceloteh. Akal bulus terus bekerja. Berharap Pak Ramdan melupakan perintah menyuruhnya ke bandara. “Saya sedang mengurus ekspor ke Malaysia, Australia dan India. Sibuk sekali.”
“Gitu ya?’
Bosan. Gitu-ya, gitu-ya, melulu. Sudah tiga kali nih, cetus Arya. Dalam hati tentu.
“Sebaiknya saya terus monitor ya, Pak?”
“Boleh.”
Arya seketika berseri-seri. Namun baru saja ia hendak meninggalkan ruangan, orang itu memanggil lagi.
“Eh, tunggu!” ABG yang mulai berkeriput disana-sini itu mendadak teringat sesuatu, “kamu tadi mau nanya apa ya? Kenapa kita jadi membahas masalah Obama dan masalah ekspormu?”
Arya menatap Pak Ramdan. Wajahnya dibuat se-innocent mungkin. Sok imut. Padahal – sungguh mati – ulahnya kurang ajar betul karena mengadali atau mengakali ABG di depannya.
“Kita kan tadi membahas orang yang bisa mengantarmu ke airport.”
Arya pasrah. Mati aku, katanya dalam hati.
“Kenapa jadi beralih topik ke hal lain?” sambungnya, “kamu ngerjain Bapak ya?”
Arya menjawab cepat. “Nggaaaaak. Sopir yang bapak maksud memang nama panggilannya Obama. Kata orang-orang tampangnya mirip-mirip Presiden Obama.”
“Item, keling, kerempeng. Apanya yang mirip Obama?”
“Mmm, mungkin kalo dilihat dari Monas,” mati-matian Arya mempertahankan wajah innocent nan kurang ajar tadi.
“Nama aslinya kan… anu…,” Pak Ramdan terlihat kesulitan lagi mengingat nama orang yang ia maksudkan.
“Kuncoro.”
“Iya Pak Kuncoro.”
“Memang ada apa dengan Pak Kuncoro, Pak?”
Ditanya demikian Pak Ramdan bingung lagi untuk yang keempat. Hanya kata ‘anu’ yang terlontar dari mulutnya.
“Kamu tadi mau nanya apa ya?”
My goodness…
Arya hanya mau tertawa dalam hati sebetulnya. Tapi gagal. Suara terkikik-nya membuat Pak Ramdan mendadak cemberut.
“Aku koq lupa terus sih? Kamu ada apa sih nanya-nanya Obama atau Pak Kuncoro?”
Pak Ramdan sebetulnya agak malu bertanya. Namun mau apa lagi?
Arya sampai harus mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjawab. “Saya hanya mau tanya. Apakah ada driver yang bisa mengantar saya ke airport.”
“Ooooh iya. Wennie kan?”
Arya hanya mengangguk. Tawa kecilnya masih bersisa akibat mengingat ulah Sang Boss yang dosis lupanya seperti bertambah terus tiap hari.
“Begini,” Pak Ramdan yang sedari tadi duduk di ujung meja sekarang duduk dengan baik dan benar. Duduk di kursi dengan Arya di hadapannya. Di seberang meja kerjanya. “Kamu harus kesana. Tapi saat ini kantor sedang tidak punya driver.”
“OB?”
“Office Boy mana yang mau kamu pakai, hah? Tidak seorang pun yang bisa menyetir.”
“Jadi?”
“Kamu pergi sendiri. Bawa sendiri mobil operasional perusahaan.”
“Yang Toyota Landcruiser?”
“Kamu minta dipecat ya? Itu mobil Big Boss!”
“O. Jadi yang minibus APV?”
“Ya eya lah, masa ya eya dong,” jawabnya. Itu lagi, itu lagi.
“Jemput Ms. Wennie Chan?”
“Iya.”
Arya tertunduk. Sedikit pasrah. Melihat sikap anak-buahnya sekarang giliran Pak Ramdan yang terkikik menertawai.
“Bapak sudah lama tahu. Kalian sering berbeda pendapat. Barang terlambat, Wennie komplain. Barang tiba terlalu cepat, dia pun protes hingga petinggi perusahaan pada tahu. Salah spesifikasi walau hanya sedikit, dia lebih komplain. Order tercampur, dia terus mencecarmu. Perusahaan pelayarannya lalai merilis Delivery Order, kamu yang kena damprat. Hilang lima karton, kamu yang diminta ngurus. Emailmu pakai huruf tebal, dia mencak-mencak. Bapak tahu semua, Arya. Tahu semua.”
“So?”
“Tapi bagaimanapun juga, dia adalah customer kita. Pangsa 15% dari output produksi dikirim ke negara yang Wennie tangani. Biiig market,” paparnya diakhiri dengan bahasa Inggris yang terdengar ‘culun’ di telinga Arya.
Arya kini terdiam. Rasanya kecil kemungkinan bagi dirinya untuk berkelit.
“Sebaiknya kamu pergi menjemput di airpot. Itu usul bapak.”
“O itu cuma usul toh, Pak?” mata Arya sedikit bersinar. Sepertinya ia melihat setitik harapan. Sayang, jawaban Pak Ramdan menyirnakan harapan tadi
“Maksud saya: usul yang wajib dilaksanakan.”
Balon bertuliskan ‘ketik C spasi D alias Cape Deh’ sepertinya muncul di atas kepala Arya.
Tak ada pilihan lain, Arya sadar, dia harus memenuhi permintaan sang Boss.
“Ya sutra lah,” cetusnya sembari bangkit dari bangku. Siap meninggalkan ruang kerja bertuliskan ‘Departemen Logistic Manager’ di pintu masuknya.
“Kamu tidak keberatan kan?” tanya Pak Ramdan setengah berteriak saat Arya hendak menutup pintu ruang kerjanya.
“Kalo saya keberatan gimana pak?“
“Ya nggak boleh.“
Hhhh...
Demikianlah, Arya akhirnya meninggalkan pekerjaan yang ia tengah tekuni hari itu. Setengah terpaksa, ia lantas membawa mobil dinas yang lowong sebelum kemudian mempercepat lanjut kendaraan untuk menuju bandara Soekarno Hatta.
***
Wednesday, March 25, 2009
Chapter 1.2.
Pintu rumah baru saja terbuka sebagian ketika ekor mata Eyya melihat sesuatu di baliknya. Ujung sepatu kets butut kepunyaan Ajab yang pasti tengah duduk di sofa di dekat situ.
“Bujubuneng. Hari gene udah nyamperin gue.”
Ajab cekikikan.
Pintu terbuka lebar dan mereka kini saling bertatapan. Di ujung sana, dekat pintu belakang, Fitri ikut tertawa kecil sambil menyantap makan malamnya. Eyya mendekat sebelum kemudian mencium kening gadis tadi.
Hermawan, ayah mereka, pasti belum pulang karena mobil taksi yang menjadi nafkah mereka tidak terlihat di pelataran depan rumah.
Sehabis menyerahkan martabak kesukaan Fitri, Eyya menyandarkan tubuh di sofa yang kini sudah nyaris tak menyisakan busa.
“Sebagai selebritis, elu kan butuh manajer artis.”
Alis Eyya menaik. “Sejak kapan elu jadi manajer artis gue?”
“Lah, kalo gak ada gue apa elu jadi ikutan audisi?”
“Jadi elu pikir gue ikutan itu karena bener-bener kepengen, gitu?” Eyya balik bertanya. “Dari dulu gue kan nggak niat. Wueeee.”
Fitri ikut terkikik. Menyusul Ajab yang terkekeh terlebih dahulu melihat sikap Eyya yang kekanakan.
“Gue kesini tuh dalam rangka persiapan elu di penampilan berikutnya. Gue nggak rela elu kalah sama peserta lain cuma karena masalah penampilan.”
Eyya tersedak. “Maksud lo?”
Ajab mendekatkan diri di sofa. “Sebagai manajer artis, gue ngerasa…”
“Manajer artis?”
“Elu koq protes melulu sih? Keberatan?”
“Ya terserah deh. Terusin coba.”
Rupanya dari tadi Ajab membawa suatu bingkisan.
“Gue bawa ini.”
“Apa tuh? Ayam bakar?”
“Elu tuh pikirannya elit dikit, knapa?” cetus Ajab berlagak marah. “Ini baju. Buat penampilan elu berikutnya. Jadi elu bisa nyanyi lebih afdol.”
Eyya menatap Ajab nyaris tanpa reaksi. “Man, gue tuh bisa nyanyi bagus pake baju apa aja.”
“Ngerti. Tapia pa itu berarti elu mau nyanyi pake kolor?”
“Ya nggak sedratis itu lah.”
“Mangkanya elu diem aja deh.”
Sesaat Eyya menurut. Ia hanya melihati saja ketika Ajab membuka bungkusan yang ia bawa. Sehelai kemeja lengan pendek berwarna biru tua kini dibentangkan di hadapan Eyya.
“Tadaaaaa….”
“Apanya yang tadaaa? Elu masih waras apa nggak sih?”
“Maksud lu?”
“Itu baju buruh pabrik kan? Baju waktu elu masih kerja di Cikarang tahun lalu sebelum elu lantas di-PHK? Gile lu coy, masa gue pake baju gituan?”
“Elu menghina?” Ajab keliatan agak kurang suka.
“Bukan menghina. Tapi, tapi …”
“Elu lebih sreg pake baju yang elu punya? Yang mana, hah? Baju warna ijo yang lipatan kerahnya udah bulukan? Baju lengan panjang kotak-kota item yang ada cipratan sambel sama kecapnya? Kemeja lengan pendek warna kuning yang keliatan bekas tambelan disana-sini? Atau kaos bekas kampanye? Baju lu yang bagus cuma yang garis-garis biru. Masa elu mau tampil ketigakalinya pake baju yang sama?”
Eyya diem.
Pasrah.
Omongan Ajab bener semua.
***
“Bujubuneng. Hari gene udah nyamperin gue.”
Ajab cekikikan.
Pintu terbuka lebar dan mereka kini saling bertatapan. Di ujung sana, dekat pintu belakang, Fitri ikut tertawa kecil sambil menyantap makan malamnya. Eyya mendekat sebelum kemudian mencium kening gadis tadi.
Hermawan, ayah mereka, pasti belum pulang karena mobil taksi yang menjadi nafkah mereka tidak terlihat di pelataran depan rumah.
Sehabis menyerahkan martabak kesukaan Fitri, Eyya menyandarkan tubuh di sofa yang kini sudah nyaris tak menyisakan busa.
“Sebagai selebritis, elu kan butuh manajer artis.”
Alis Eyya menaik. “Sejak kapan elu jadi manajer artis gue?”
“Lah, kalo gak ada gue apa elu jadi ikutan audisi?”
“Jadi elu pikir gue ikutan itu karena bener-bener kepengen, gitu?” Eyya balik bertanya. “Dari dulu gue kan nggak niat. Wueeee.”
Fitri ikut terkikik. Menyusul Ajab yang terkekeh terlebih dahulu melihat sikap Eyya yang kekanakan.
“Gue kesini tuh dalam rangka persiapan elu di penampilan berikutnya. Gue nggak rela elu kalah sama peserta lain cuma karena masalah penampilan.”
Eyya tersedak. “Maksud lo?”
Ajab mendekatkan diri di sofa. “Sebagai manajer artis, gue ngerasa…”
“Manajer artis?”
“Elu koq protes melulu sih? Keberatan?”
“Ya terserah deh. Terusin coba.”
Rupanya dari tadi Ajab membawa suatu bingkisan.
“Gue bawa ini.”
“Apa tuh? Ayam bakar?”
“Elu tuh pikirannya elit dikit, knapa?” cetus Ajab berlagak marah. “Ini baju. Buat penampilan elu berikutnya. Jadi elu bisa nyanyi lebih afdol.”
Eyya menatap Ajab nyaris tanpa reaksi. “Man, gue tuh bisa nyanyi bagus pake baju apa aja.”
“Ngerti. Tapia pa itu berarti elu mau nyanyi pake kolor?”
“Ya nggak sedratis itu lah.”
“Mangkanya elu diem aja deh.”
Sesaat Eyya menurut. Ia hanya melihati saja ketika Ajab membuka bungkusan yang ia bawa. Sehelai kemeja lengan pendek berwarna biru tua kini dibentangkan di hadapan Eyya.
“Tadaaaaa….”
“Apanya yang tadaaa? Elu masih waras apa nggak sih?”
“Maksud lu?”
“Itu baju buruh pabrik kan? Baju waktu elu masih kerja di Cikarang tahun lalu sebelum elu lantas di-PHK? Gile lu coy, masa gue pake baju gituan?”
“Elu menghina?” Ajab keliatan agak kurang suka.
“Bukan menghina. Tapi, tapi …”
“Elu lebih sreg pake baju yang elu punya? Yang mana, hah? Baju warna ijo yang lipatan kerahnya udah bulukan? Baju lengan panjang kotak-kota item yang ada cipratan sambel sama kecapnya? Kemeja lengan pendek warna kuning yang keliatan bekas tambelan disana-sini? Atau kaos bekas kampanye? Baju lu yang bagus cuma yang garis-garis biru. Masa elu mau tampil ketigakalinya pake baju yang sama?”
Eyya diem.
Pasrah.
Omongan Ajab bener semua.
***
Tuesday, March 24, 2009
Bab 1.1.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Jalan Gentong Raya yang jadi pasar kagetan tiap Jumat mendadak heboh. Bukan Cuma sekedar berisik secara banyak yang jualan, tapi teriakan tadi ngebuat para pembeli dan penjual sayur-mayur, pedagang asongan sama tukang balon, serentak pada celingukan. Saking panik, beberapa orang saling tabrakan karena nggak tau mau kabur kemana.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Daftar orang yang celingukan pada bertambah. Tukang jual batu akik, bencong pengamen, dan juru parkir, masuk dalam kategori terakhir. Muka mereka sama. Panik. Tanpa nunggu aba-aba, beberapa pedagang kabur ninggalin kios ataupun dagangannya. Begitu juga pembelinya.
Tanpa kecuali Ade – cowok kiut yang gara-gara teriakan tadi buru-buru ninggalin makan siangnya yang masih belum selesai di warung tenda Bang Jori Kumis.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Sementara beberapa orang masih pada kabur ninggalin tempat, yang lainnya mukanya ketuju ke satu arah. Tapi setelah ditunggu-tunggu, nggak ada tanda-tanda munculnya orang tersebut. Semenit, dua menit berlalu. Tiga menit, lima menit. Mereka masih nunggu satu menit lagi sampe kemudian sama-sama sadar kalo mereka semua dikadalin.
Nah, pas mereka semua – para pedagang dan pembeli – kembali beraktifitas, baru mereka sadar sesuatu.
“Sialan! Gue dikadalin!” teriak Koh Abun sewaktu ngeliat daging ayamnya berkurang dua ekor.
“Gue juga!” gantian pedang tomat yang teriak. “Duit gue yang segepok di meja sekarang nggak ada!”
“Woooy! Voucher hape gue ada yang bawa kabur!”
“Sarung gue juga ilang!”
“Gigi palsu gue ada yang ngembat!”
Demikianlah. Daftar orang yang keilangan barang dan duit ternyata lumayan banyak.
“Sialan nih, ada yang ngerjain kita!”
“Kebakarannya bo’ongan!”
Orang-orang pada sebel. Tapi ternyata itu belum semuanya. Ade baru sadar kalo akibat ia buru-buru meninggalkan tempat, bajunya kecipratan saos dan kecap.
“Kurang asem!” cetusnya kesel, “gara-gara kejadian tadi baju gue rusak nih!”
Seorang pemuda kerempeng nimpalin. “Gue juga. Gue nggak sempat makan siomay, tukang jualnya udah kabur duluan! Sial…”
“Itu nggak seberapa,” seorang pemuda berteriak dari balik pintu bertulisan ‘Barber Shop’. “Yang paling kesel tuh gue, tau?!”
“Kenapa emangnya pak?” tanya Ade penasaran.
Pemuda yang berteriak tadi kini muncul di depan mereka semua. “Tukang cukurnya juga kabur. Nah terus, masa gue musti pulang dalam keadaan begini?” cetusnya sambil nunjuk kepalanya yang baru ½ kecukur.
***
Jalan Gentong Raya yang jadi pasar kagetan tiap Jumat mendadak heboh. Bukan Cuma sekedar berisik secara banyak yang jualan, tapi teriakan tadi ngebuat para pembeli dan penjual sayur-mayur, pedagang asongan sama tukang balon, serentak pada celingukan. Saking panik, beberapa orang saling tabrakan karena nggak tau mau kabur kemana.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Daftar orang yang celingukan pada bertambah. Tukang jual batu akik, bencong pengamen, dan juru parkir, masuk dalam kategori terakhir. Muka mereka sama. Panik. Tanpa nunggu aba-aba, beberapa pedagang kabur ninggalin kios ataupun dagangannya. Begitu juga pembelinya.
Tanpa kecuali Ade – cowok kiut yang gara-gara teriakan tadi buru-buru ninggalin makan siangnya yang masih belum selesai di warung tenda Bang Jori Kumis.
“Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!”
Sementara beberapa orang masih pada kabur ninggalin tempat, yang lainnya mukanya ketuju ke satu arah. Tapi setelah ditunggu-tunggu, nggak ada tanda-tanda munculnya orang tersebut. Semenit, dua menit berlalu. Tiga menit, lima menit. Mereka masih nunggu satu menit lagi sampe kemudian sama-sama sadar kalo mereka semua dikadalin.
Nah, pas mereka semua – para pedagang dan pembeli – kembali beraktifitas, baru mereka sadar sesuatu.
“Sialan! Gue dikadalin!” teriak Koh Abun sewaktu ngeliat daging ayamnya berkurang dua ekor.
“Gue juga!” gantian pedang tomat yang teriak. “Duit gue yang segepok di meja sekarang nggak ada!”
“Woooy! Voucher hape gue ada yang bawa kabur!”
“Sarung gue juga ilang!”
“Gigi palsu gue ada yang ngembat!”
Demikianlah. Daftar orang yang keilangan barang dan duit ternyata lumayan banyak.
“Sialan nih, ada yang ngerjain kita!”
“Kebakarannya bo’ongan!”
Orang-orang pada sebel. Tapi ternyata itu belum semuanya. Ade baru sadar kalo akibat ia buru-buru meninggalkan tempat, bajunya kecipratan saos dan kecap.
“Kurang asem!” cetusnya kesel, “gara-gara kejadian tadi baju gue rusak nih!”
Seorang pemuda kerempeng nimpalin. “Gue juga. Gue nggak sempat makan siomay, tukang jualnya udah kabur duluan! Sial…”
“Itu nggak seberapa,” seorang pemuda berteriak dari balik pintu bertulisan ‘Barber Shop’. “Yang paling kesel tuh gue, tau?!”
“Kenapa emangnya pak?” tanya Ade penasaran.
Pemuda yang berteriak tadi kini muncul di depan mereka semua. “Tukang cukurnya juga kabur. Nah terus, masa gue musti pulang dalam keadaan begini?” cetusnya sambil nunjuk kepalanya yang baru ½ kecukur.
***
Bab 1.3.2.
"Kakak Eyya."
"Ada apa Cinta?"
"Kakak."
"Iyaaa."
"Kakak."
Buat orang yang belum pernah kenal atau mendengar Fitri berbicara, pasti akan menganggap aneh anak yang sebentar lagi berumur 8 tahun itu. Tapi tidak demikian buat Eyya. Sebaliknya rasa capek dan pusing akibat pekerjaan di kantor yang belum setahun dijalaninya, sirna lebih cepat saat mendengar suara Cinta - panggilan sayang khususnya pada Fitri. Autis yang dideritanya sejak lahir justeru membuat cintanya begitu besar pada Fitri yang besok lusa mulai duduk di bangku SD.
"Mmm, ka-kak udah ma-kan belum?"
"Belum."
"O." Terdengar suara menggumam di ujung sana. Tidak jelas apa yang dikatakan. Bagi Eyya yang sudah amat mengenal autis adiknya, ia tidak perlu mengejar apa yang gumamkan.
"Apih sudah pulang?" Eyya menanyakan ayah mereka.
"Be-lum. Eh, kak-ak nanti pulang jam bela-pa?" tanya Fitri mengembalikan ke topik pembicaraan semula.
"Kalo nggak lembur, jam 6. Kenapa?"
"Nanti bawa sesuatu ya, Kak?"
"Sesuatunya apa kali ini? Martabak? Buku?"
"Mal-tabak, kak."
"Oke, oke. Eh, Fitri udah siap sekolah kan?"
Nada ceria yang sejak awal terdengar di setiap desah nafas Fitri kini seketika lenyap. Eyya yang sudah sangat mengenal tabiat adiknya hanya bisa menerka. "Koq diem?"
"Fitli diganggu la-gi, kak."
"Diganggu lagi? Sama siapa?"
Tidak terdengar suara. Eyya mencoba memanggil. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tak terdengar tanggapan. Hanya isak sebagai gantinya. Sesaat kemudian, di ujung sana, Fitri memutus pembicaraan dengan mematikan panggilan telpon selulernya.
***
"Ada apa Cinta?"
"Kakak."
"Iyaaa."
"Kakak."
Buat orang yang belum pernah kenal atau mendengar Fitri berbicara, pasti akan menganggap aneh anak yang sebentar lagi berumur 8 tahun itu. Tapi tidak demikian buat Eyya. Sebaliknya rasa capek dan pusing akibat pekerjaan di kantor yang belum setahun dijalaninya, sirna lebih cepat saat mendengar suara Cinta - panggilan sayang khususnya pada Fitri. Autis yang dideritanya sejak lahir justeru membuat cintanya begitu besar pada Fitri yang besok lusa mulai duduk di bangku SD.
"Mmm, ka-kak udah ma-kan belum?"
"Belum."
"O." Terdengar suara menggumam di ujung sana. Tidak jelas apa yang dikatakan. Bagi Eyya yang sudah amat mengenal autis adiknya, ia tidak perlu mengejar apa yang gumamkan.
"Apih sudah pulang?" Eyya menanyakan ayah mereka.
"Be-lum. Eh, kak-ak nanti pulang jam bela-pa?" tanya Fitri mengembalikan ke topik pembicaraan semula.
"Kalo nggak lembur, jam 6. Kenapa?"
"Nanti bawa sesuatu ya, Kak?"
"Sesuatunya apa kali ini? Martabak? Buku?"
"Mal-tabak, kak."
"Oke, oke. Eh, Fitri udah siap sekolah kan?"
Nada ceria yang sejak awal terdengar di setiap desah nafas Fitri kini seketika lenyap. Eyya yang sudah sangat mengenal tabiat adiknya hanya bisa menerka. "Koq diem?"
"Fitli diganggu la-gi, kak."
"Diganggu lagi? Sama siapa?"
Tidak terdengar suara. Eyya mencoba memanggil. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tak terdengar tanggapan. Hanya isak sebagai gantinya. Sesaat kemudian, di ujung sana, Fitri memutus pembicaraan dengan mematikan panggilan telpon selulernya.
***
IH SEYEMMM....
Ade (hayo ini cewek apa cowok?) adalah anak pindahan dari sebuah desa kecil di Jateng. Begitu kecil en imutnya desa itu sehingga dijamin gak bakalan elu temuin di peta bola dunia seukuran bola tenis. Rada ganteng tapi udik abis, Si Ade yang nggak ada hubungan sama Ade Rai atau Ade Bing Slamet baru aja pindah ke Jakarta secara orangtuanya dipindahtugaskan. Istilah kantornya: di-mutilasi lah gitu (perasaan gue ngomong gitu ada yg salah deh).
Suatu saat Ade dalam suatu kesempatan berkenalan dengan Meisy. Niat Ade mah cuma kenalan. Gak taunya, ada yang nggak seneng dengan perkenalan Ade-Meisy yaitu Bobi, abangnya Meisy. Asal tau aja, Bobi itu adalah ketua Gang Bajing yang mulai dari ketua, anggota sampe asisten ketua, semua berasal dari Kampung Ciblon. Sebuah daerah slum, kumuh, yang 90% anggota masyarakat berprofesi ‘khusus’ yaitu: maling, pencopet, tukang palak sampe penjaja cinta kelas gapi (lebih murah dari teri). Kalopun ada jabatan yang lebih ‘halus’ seperti timer, polisi cepek, atau pengamen, ujung2nya sama juga: mereka malakin/minta duit orang.
Sebetulnya nggak ada alesan buat Ade nerusin hubungan dengan Meisy. Pikirnya, buat apa dirinya harus repot2 berhadapan dengan Gang Bajing yang nyeremin dan suka bikin teror itu? Dalam keluguannya, Ade - bukan karena takut sama Gang Bajing - mulai ngejauhin Meisy. Tapppiii, ternyata begitu Ade menjauh, masalah baru muncul lagi: Bobi justeru sekarang kepinginnya Ade seriusin hubungannya dengan Meisy. Kenapa? Ini karena Bobi kagum dengan pendekatan Ade sewaktu mendamaikan Gang Bajing dengan lawannya, Gang Ciblon, yang dilakukan tanpa kekerasan.
Sekarang Ade jadi takut sendiri. Masalahnya, Bobi rada maksa supaya dirinya deket dengan Meisy padahal Ade Ade sendiri masih belum bisa menilai perasaannya sendiri terhadap Meisy: apakah maunya sekedar temen atau gimana. Tapi untuk dirinya ngebantah Bobi, Ade nggak berani. Maklum lah, Bobi kan preman. Ade jelas gak berani ngadepin dia. Kalo nanti dikelitikin orang satu Gang, kan seyemmm….!
Suatu saat Ade dalam suatu kesempatan berkenalan dengan Meisy. Niat Ade mah cuma kenalan. Gak taunya, ada yang nggak seneng dengan perkenalan Ade-Meisy yaitu Bobi, abangnya Meisy. Asal tau aja, Bobi itu adalah ketua Gang Bajing yang mulai dari ketua, anggota sampe asisten ketua, semua berasal dari Kampung Ciblon. Sebuah daerah slum, kumuh, yang 90% anggota masyarakat berprofesi ‘khusus’ yaitu: maling, pencopet, tukang palak sampe penjaja cinta kelas gapi (lebih murah dari teri). Kalopun ada jabatan yang lebih ‘halus’ seperti timer, polisi cepek, atau pengamen, ujung2nya sama juga: mereka malakin/minta duit orang.
Sebetulnya nggak ada alesan buat Ade nerusin hubungan dengan Meisy. Pikirnya, buat apa dirinya harus repot2 berhadapan dengan Gang Bajing yang nyeremin dan suka bikin teror itu? Dalam keluguannya, Ade - bukan karena takut sama Gang Bajing - mulai ngejauhin Meisy. Tapppiii, ternyata begitu Ade menjauh, masalah baru muncul lagi: Bobi justeru sekarang kepinginnya Ade seriusin hubungannya dengan Meisy. Kenapa? Ini karena Bobi kagum dengan pendekatan Ade sewaktu mendamaikan Gang Bajing dengan lawannya, Gang Ciblon, yang dilakukan tanpa kekerasan.
Sekarang Ade jadi takut sendiri. Masalahnya, Bobi rada maksa supaya dirinya deket dengan Meisy padahal Ade Ade sendiri masih belum bisa menilai perasaannya sendiri terhadap Meisy: apakah maunya sekedar temen atau gimana. Tapi untuk dirinya ngebantah Bobi, Ade nggak berani. Maklum lah, Bobi kan preman. Ade jelas gak berani ngadepin dia. Kalo nanti dikelitikin orang satu Gang, kan seyemmm….!
Monday, March 23, 2009
Bab 1.3.1.
Keluar ruang rapat, Eyya belum apa-apa udah dikerubungin orang. Ada Kay, Togap, Afif sama Vita. Tanpa nunggu mereka ngomong apa, Eyya sudah tahu lebih dulu apa yang mereka mau sampaikan.
"Gile, keren banget lu semalem."
"Elu ngaku di kantor sibuk-sibuk-sibuk. Nyatanya masih sempat latihan lu ya?"
"Penampilan lu asik. Kontestan lain putus deh kayaknya kalo di-compare sama elu."
"Berikutnya lagu apa neh?"
"Kalo boleh gue minta, berikutnya elu nyanyiin lagu-nya Ello ya? Plis?"
"Peter Pan!"
"Andra and the Backbone!"
"Ungu! Cokelat! Pink atau Biru dongker juga mau."
Eyya cuma senyum-senyum kecil. Bangga juga dia. Sedikit.
Ya.
Kejadian tempo hari ketika dirinya dijebak Ajab mengikuti audisi Vocalist Indonesia 2009 secara mendadak, akhirnya ia ikuti juga. Itupun dirinya hampir ditolak panitia karena tidak menjawab panggilan ketika sudah diultimatum. Tapi dasar Ajab yang memang pintar berkelit, Eyya kemudian bisa juga mengikuti audisi. Audisi yang tanpa disangka-sangka mengantarnya untuk masuk ke babak berikut setelah menyisihkan ribuan peserta. Beruntung lokasi KKTV sebagai penyelanggara acara hanya 1/4 jam berjalankaki dari rumahnya. Akibatnya, ia tidak perlu menyewa tempat kos seperti dilakukan beberapa peserta lain khususnya yang berasal dari luar kota.
Sambil terus berjalan menyusuri lorong gedung, Eyya menjawab sebisanya. "Gue belum tau nanti nyanyi lagu apa. Biasanya panitia yang nyiapin."
"Kapan lagi kamu tampil?" Togap yang tidak pernah ber-elu-gue menimpali.
"Minggu depan lah."
"Butuh dukungan SMS gak?"
"Ya butuh. Tapi gue nggak mau maksain mendongkrak perolehan suara dengan SMS-SMSan."
"Knapa?" cetus Vita.
"Pertama gue bukan orang kaya sehingga nggak sanggup beli pulsa sampe berjut-jut. Dan kedua gue gak mau nodong orang lain buat ngirim kalo tu orang gak mampu."
Terdengar suara 'uuuu' serentak yang bernada mendukung keputusan Eyya.
Mereka berpisah di pertigaan yang membawa Eyya sendiri ke kubikal tempatnya bekerja. Ketika baru saja ia duduk, secarik kertas 'post it' warna kuning menyala menarik perhatiannya. Kertas itu menempel di monitor komputer.
Isi pesannya singkat saja. Ada pesan telpon dari adiknya.
Setelah memeriksa jadwal tugas dan yakin bahwa tidak ada yang urgent, ia meraih gagang telpon.
Selang setengah menit kemudian terdengar suara dari ujung sana. Suara Fitri adiknya. Penderita Autis yang menjadi motivator perjuangan hidup dirinya dan juga ayahnya selama ini.
"Halo Cinta."
***
"Gile, keren banget lu semalem."
"Elu ngaku di kantor sibuk-sibuk-sibuk. Nyatanya masih sempat latihan lu ya?"
"Penampilan lu asik. Kontestan lain putus deh kayaknya kalo di-compare sama elu."
"Berikutnya lagu apa neh?"
"Kalo boleh gue minta, berikutnya elu nyanyiin lagu-nya Ello ya? Plis?"
"Peter Pan!"
"Andra and the Backbone!"
"Ungu! Cokelat! Pink atau Biru dongker juga mau."
Eyya cuma senyum-senyum kecil. Bangga juga dia. Sedikit.
Ya.
Kejadian tempo hari ketika dirinya dijebak Ajab mengikuti audisi Vocalist Indonesia 2009 secara mendadak, akhirnya ia ikuti juga. Itupun dirinya hampir ditolak panitia karena tidak menjawab panggilan ketika sudah diultimatum. Tapi dasar Ajab yang memang pintar berkelit, Eyya kemudian bisa juga mengikuti audisi. Audisi yang tanpa disangka-sangka mengantarnya untuk masuk ke babak berikut setelah menyisihkan ribuan peserta. Beruntung lokasi KKTV sebagai penyelanggara acara hanya 1/4 jam berjalankaki dari rumahnya. Akibatnya, ia tidak perlu menyewa tempat kos seperti dilakukan beberapa peserta lain khususnya yang berasal dari luar kota.
Sambil terus berjalan menyusuri lorong gedung, Eyya menjawab sebisanya. "Gue belum tau nanti nyanyi lagu apa. Biasanya panitia yang nyiapin."
"Kapan lagi kamu tampil?" Togap yang tidak pernah ber-elu-gue menimpali.
"Minggu depan lah."
"Butuh dukungan SMS gak?"
"Ya butuh. Tapi gue nggak mau maksain mendongkrak perolehan suara dengan SMS-SMSan."
"Knapa?" cetus Vita.
"Pertama gue bukan orang kaya sehingga nggak sanggup beli pulsa sampe berjut-jut. Dan kedua gue gak mau nodong orang lain buat ngirim kalo tu orang gak mampu."
Terdengar suara 'uuuu' serentak yang bernada mendukung keputusan Eyya.
Mereka berpisah di pertigaan yang membawa Eyya sendiri ke kubikal tempatnya bekerja. Ketika baru saja ia duduk, secarik kertas 'post it' warna kuning menyala menarik perhatiannya. Kertas itu menempel di monitor komputer.
Isi pesannya singkat saja. Ada pesan telpon dari adiknya.
Setelah memeriksa jadwal tugas dan yakin bahwa tidak ada yang urgent, ia meraih gagang telpon.
Selang setengah menit kemudian terdengar suara dari ujung sana. Suara Fitri adiknya. Penderita Autis yang menjadi motivator perjuangan hidup dirinya dan juga ayahnya selama ini.
"Halo Cinta."
***
Bertarung Teenlit - Sampai Kapan?
Oleh: Lisa Kunto
(dikutip dari Bukune.com)
Meggin Patricia Cabot, atau yang dikenal dengan nama pena Meg Cabot, membuka milenium baru dengan menerbitkan sebuah novel untuk remaja, The Princess Diaries. Novel tersebut sangat digandrungi oleh remaja putri sehingga tak lama setelah diterbitkan, Disney memutuskan untuk mengangkat kisah Mia Thermopolis, gadis Manhattan yang ternyata seorang putri kerajaan kecil Genovia, ke layar perak. April 2001, film dengan judul yang sama diputar di bioskop-bioskop seluruh Amerika. Akting Anne Hattaway sebagai Mia dan Julie Andrews sebagai Ratu Genovia, memukau remaja di seluruh Amerika dan dunia, termasuk Indonesia. Sukses film itu membawa serta buku seri The Princess Diaries ke seluruh dunia. Setahun berselang, penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan novel terjemahan The Princess Diaries pertama.
Ternyata pembaca Indonesia menyambut buku tersebut. Juga buku-buku sejenis lainnya yang dikenal dengan istilah teenlit atau teen literature.
Prediksi Penerbit terhadap Buku Remaja
Walaupun penerbit dirisaukan oleh perilaku pasar di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh tren, mereka tetap optimistis bahwa pangsa remaja tetaplah sangat potensial untuk digarap. Teenlit bakalan tetap menjadi bacaan primadona untuk tahun ini, dan bahkan mereka yakin, untuk tahun depan. Menjadi tugas penerbit untuk membaca geseran-geseran tren yang terjadi di masyarakat.
Ariobimo Nusantara, pemimpin redaksi Grasindo, mengakui terjadinya penurunan jumlah penjualan. Tapi ia merasa yakin kalau minat remaja terhadap buku tidak akan surut. “Penurunan terjadi bukan karena permintaan berkurang. Melainkan karena saat ini, banyak pemain yang masuk ke pasar yang sama,” katany. Oleh karena itu para penerbit berlomba-lomba untuk menciptakan tren-tren baru pada bacaan teenlit. Kuncinya adalah inovasi: entah dari segi cover, ilustrasi, syukur-syukur isi. Ini diperlukan untuk mempertahankan minat pembaca remaja terhadap fiksi.
Hetih Rusli, redaksi Garmedia Pustaka Utama berkomentar, “Pembaca remaja kita tidak setia pada penulis teenlit dari dalam negeri. Sedangkan untuk penulis teenlit luar, mereka setia sekali. Kita ambil contoh: apapun buku Meg Cabot terbitan GPU, pasti laku di pasaran. Dan dinantikan. Sedangkan penulis kami yang sudah menerbitkan beberapa judul teenlit, belum mendapat reaksi yang sama dari pasar.”
Hanya Remaja Cewek?
Bahwa teenlit tetap menjadi bacaan primadona tahun ini, menciptakan sebuah pertanyaan tersendiri: apakah benar teenlit adalah bacaan remaja secara umum? Dilihat dari segi ceritanya, teenlit seolah-olah hanya menyediakan bacaan untuk remaja putri saja. Sedangkan remaja putra sepertinya tidak menjadi pertimbangan penerbit untuk menerbitkan bacaan untuk putra. Keinginan penerbit adalah bisa merangkul keduanya. Faktanya, sebagian besar penulis teenlit adalah perempuan; pembaca remaja laki-laki lebih menyukai buku-buku yang memiliki banyak visual; dan pembeli buku terbanyak, berdasarkan laporan dari toko buku, juga remaja perempuan. Komentar “Entah ada apa dengan cowok,” dilontarkan oleh Sitok Srengenge, pemimpin redaksi KataKita, dan Jumanta, manajer produksi dan visual Puspa Swara.
Sebenarnya semua penerbit memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi penulis untuk melakukan eksplorasi tema dan gaya bercerita. Mereka menginginkan naskah-naskah dengan lebih banyak variasi agar dapat menjangkau lebih banyak pembaca. Seperti naskah komedi yang cerdas sekaligus lucu.
Selama ini, penulis memang memasukkan kelucuan dalam naskah mereka. Tapi pada akhirnya, naskah yang diterima kebanyakan bertema percintaan. Novel yang benar-benar komedi sedikit sekali jumlahnya. Dari penerbit-penerbit nara sumber, hanya: Jomblo (GagasMedia), 5 cm (Grasindo), dan Hey Conchita (KataKita).Soal gaya bahasa, seperti kita lihat sendiri, novel-novel teenlit ini menggunakan gaya bahasa pop. Bahasa yang digunakan remaja dalam keseharian mereka. Menurut Heti, GPU mematok standar, setidaknya, walaupun itu bahasa gaul seremeh gue-lu, ejaannya harus tetap mengacu pada Kamus Bahasa Indonesia. Begitu juga pengakuan GagasMedia. “Kami di GagasMedia selalu mengacu pada Bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk urusan tata bahasa. Kalau dialek, kami terbuka,” jelas Windy Ariesta, staff redaksi GagasMedia.Nama Besar Penulis?Pembaca tidak setia pada penulis. Pengakuan ini sudah didapat dari penerbit maupun beberapa pembaca remaja yang diwawancara oleh Read. Pada kenyataannya, penerbit pun tidak memprioritaskan nama penulis. Kamu bisa lihat sendiri, sesuai dengan pernyataan penerbit, hampir 80% buku yang ada di pasaran di tulis oleh penulis baru. “Terrant Books selalu mengutamakan keunikan tema cerita dan gaya penulisannya. Banyak penerbit yang mencantumkan besar-besar nama penulis karena ia sudah terkenal,” jelas Azis, “padahal secara kualitas cerita maupun teknik penyampaiannya sudah tidak bagus lagi. Malah karya penulis-penulis baru kadang-kadang jauh lebih bagus.
Best Seller
Sitok Srengenge bersikukuh bahwa sebuah label best seller seharusnya diberikan oleh institusi outsource yang melakukan riset pasar secara independen. Kendati demikian, setiap penerbit memiliki ukurannya sendiri untuk buku best seller mereka.Penerbit KataKita sendiri: 1) Nothing But Love. Novel tersebut memiliki plot berbeda dari buku remaja kebanyakan. Menawarkan pengalaman metafiksi. 2) Hey Concita. Menawarkan never ending komedi dalam ceritanya.Penerbit Puspa Swara: My Cousin is Gay dan My first Triangle Love. Menurut redaksi, karena judul buku unik dan secara langsung mengkomunikasikan ceritanya.Penerbit Terrant Books: Pesan dari Bintang karya Sitta Karina. Kelebihan dari novel tersebut adalah gaya penulisan, tema yang sangat menarik dan dilengkapi ilustrasi yang cantik. Namun belum mengalahkan kesuksesan Nia Arundita, Eiffel I’m in Love.Penerbit Grasindo: Karya-karya Cyntia Surentu. Pacarku Selebriti, Kos ‘Full Color’ dan Keren Bukan Jaminan.Gramedia: Belanglicious, Miss Cupid, dan Dua Pasang Mata. Selain temanya bagus dan dibawakan dengan baik, novel-novel ini dikemas sesuai dengan selera pembaca remaja.GagasMedia: Jomblo sudah mencapai cetakan ke-17. Guruku Keren, Amore, dan Kalau Cinta Ngomong Dong.Dalam 1-3 bulan pertama biasanya sudah dapat dilihat perputarannya: Apakah penerbit sudah menerima pemesanan tambahan dari toko buku. Seberapa cepat habis di pasar. Dan, seberapa cepat cetakan kedua dari waktu cetak pertamakali. Tapi, cetak ulang itu bukan berarti stok habis!
(dikutip dari Bukune.com)
Meggin Patricia Cabot, atau yang dikenal dengan nama pena Meg Cabot, membuka milenium baru dengan menerbitkan sebuah novel untuk remaja, The Princess Diaries. Novel tersebut sangat digandrungi oleh remaja putri sehingga tak lama setelah diterbitkan, Disney memutuskan untuk mengangkat kisah Mia Thermopolis, gadis Manhattan yang ternyata seorang putri kerajaan kecil Genovia, ke layar perak. April 2001, film dengan judul yang sama diputar di bioskop-bioskop seluruh Amerika. Akting Anne Hattaway sebagai Mia dan Julie Andrews sebagai Ratu Genovia, memukau remaja di seluruh Amerika dan dunia, termasuk Indonesia. Sukses film itu membawa serta buku seri The Princess Diaries ke seluruh dunia. Setahun berselang, penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan novel terjemahan The Princess Diaries pertama.
Ternyata pembaca Indonesia menyambut buku tersebut. Juga buku-buku sejenis lainnya yang dikenal dengan istilah teenlit atau teen literature.
Prediksi Penerbit terhadap Buku Remaja
Walaupun penerbit dirisaukan oleh perilaku pasar di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh tren, mereka tetap optimistis bahwa pangsa remaja tetaplah sangat potensial untuk digarap. Teenlit bakalan tetap menjadi bacaan primadona untuk tahun ini, dan bahkan mereka yakin, untuk tahun depan. Menjadi tugas penerbit untuk membaca geseran-geseran tren yang terjadi di masyarakat.
Ariobimo Nusantara, pemimpin redaksi Grasindo, mengakui terjadinya penurunan jumlah penjualan. Tapi ia merasa yakin kalau minat remaja terhadap buku tidak akan surut. “Penurunan terjadi bukan karena permintaan berkurang. Melainkan karena saat ini, banyak pemain yang masuk ke pasar yang sama,” katany. Oleh karena itu para penerbit berlomba-lomba untuk menciptakan tren-tren baru pada bacaan teenlit. Kuncinya adalah inovasi: entah dari segi cover, ilustrasi, syukur-syukur isi. Ini diperlukan untuk mempertahankan minat pembaca remaja terhadap fiksi.
Hetih Rusli, redaksi Garmedia Pustaka Utama berkomentar, “Pembaca remaja kita tidak setia pada penulis teenlit dari dalam negeri. Sedangkan untuk penulis teenlit luar, mereka setia sekali. Kita ambil contoh: apapun buku Meg Cabot terbitan GPU, pasti laku di pasaran. Dan dinantikan. Sedangkan penulis kami yang sudah menerbitkan beberapa judul teenlit, belum mendapat reaksi yang sama dari pasar.”
Hanya Remaja Cewek?
Bahwa teenlit tetap menjadi bacaan primadona tahun ini, menciptakan sebuah pertanyaan tersendiri: apakah benar teenlit adalah bacaan remaja secara umum? Dilihat dari segi ceritanya, teenlit seolah-olah hanya menyediakan bacaan untuk remaja putri saja. Sedangkan remaja putra sepertinya tidak menjadi pertimbangan penerbit untuk menerbitkan bacaan untuk putra. Keinginan penerbit adalah bisa merangkul keduanya. Faktanya, sebagian besar penulis teenlit adalah perempuan; pembaca remaja laki-laki lebih menyukai buku-buku yang memiliki banyak visual; dan pembeli buku terbanyak, berdasarkan laporan dari toko buku, juga remaja perempuan. Komentar “Entah ada apa dengan cowok,” dilontarkan oleh Sitok Srengenge, pemimpin redaksi KataKita, dan Jumanta, manajer produksi dan visual Puspa Swara.
Sebenarnya semua penerbit memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi penulis untuk melakukan eksplorasi tema dan gaya bercerita. Mereka menginginkan naskah-naskah dengan lebih banyak variasi agar dapat menjangkau lebih banyak pembaca. Seperti naskah komedi yang cerdas sekaligus lucu.
Selama ini, penulis memang memasukkan kelucuan dalam naskah mereka. Tapi pada akhirnya, naskah yang diterima kebanyakan bertema percintaan. Novel yang benar-benar komedi sedikit sekali jumlahnya. Dari penerbit-penerbit nara sumber, hanya: Jomblo (GagasMedia), 5 cm (Grasindo), dan Hey Conchita (KataKita).Soal gaya bahasa, seperti kita lihat sendiri, novel-novel teenlit ini menggunakan gaya bahasa pop. Bahasa yang digunakan remaja dalam keseharian mereka. Menurut Heti, GPU mematok standar, setidaknya, walaupun itu bahasa gaul seremeh gue-lu, ejaannya harus tetap mengacu pada Kamus Bahasa Indonesia. Begitu juga pengakuan GagasMedia. “Kami di GagasMedia selalu mengacu pada Bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk urusan tata bahasa. Kalau dialek, kami terbuka,” jelas Windy Ariesta, staff redaksi GagasMedia.Nama Besar Penulis?Pembaca tidak setia pada penulis. Pengakuan ini sudah didapat dari penerbit maupun beberapa pembaca remaja yang diwawancara oleh Read. Pada kenyataannya, penerbit pun tidak memprioritaskan nama penulis. Kamu bisa lihat sendiri, sesuai dengan pernyataan penerbit, hampir 80% buku yang ada di pasaran di tulis oleh penulis baru. “Terrant Books selalu mengutamakan keunikan tema cerita dan gaya penulisannya. Banyak penerbit yang mencantumkan besar-besar nama penulis karena ia sudah terkenal,” jelas Azis, “padahal secara kualitas cerita maupun teknik penyampaiannya sudah tidak bagus lagi. Malah karya penulis-penulis baru kadang-kadang jauh lebih bagus.
Best Seller
Sitok Srengenge bersikukuh bahwa sebuah label best seller seharusnya diberikan oleh institusi outsource yang melakukan riset pasar secara independen. Kendati demikian, setiap penerbit memiliki ukurannya sendiri untuk buku best seller mereka.Penerbit KataKita sendiri: 1) Nothing But Love. Novel tersebut memiliki plot berbeda dari buku remaja kebanyakan. Menawarkan pengalaman metafiksi. 2) Hey Concita. Menawarkan never ending komedi dalam ceritanya.Penerbit Puspa Swara: My Cousin is Gay dan My first Triangle Love. Menurut redaksi, karena judul buku unik dan secara langsung mengkomunikasikan ceritanya.Penerbit Terrant Books: Pesan dari Bintang karya Sitta Karina. Kelebihan dari novel tersebut adalah gaya penulisan, tema yang sangat menarik dan dilengkapi ilustrasi yang cantik. Namun belum mengalahkan kesuksesan Nia Arundita, Eiffel I’m in Love.Penerbit Grasindo: Karya-karya Cyntia Surentu. Pacarku Selebriti, Kos ‘Full Color’ dan Keren Bukan Jaminan.Gramedia: Belanglicious, Miss Cupid, dan Dua Pasang Mata. Selain temanya bagus dan dibawakan dengan baik, novel-novel ini dikemas sesuai dengan selera pembaca remaja.GagasMedia: Jomblo sudah mencapai cetakan ke-17. Guruku Keren, Amore, dan Kalau Cinta Ngomong Dong.Dalam 1-3 bulan pertama biasanya sudah dapat dilihat perputarannya: Apakah penerbit sudah menerima pemesanan tambahan dari toko buku. Seberapa cepat habis di pasar. Dan, seberapa cepat cetakan kedua dari waktu cetak pertamakali. Tapi, cetak ulang itu bukan berarti stok habis!
Bab 1.2.
Telpon di kubikal tempat Kinarya bekerja, berbunyi. Sekali, dua kali. Sampai kemudian.
"Halo," cetus Eyya malas ketika gagang telpon menyentuh telinganya.
"Halo, ada telpon pak."
"Dari?" tanyanya pada receptionist yang menelpon.
"Dari Eksceng Fud Singgapur," jawabnya rada medok.
"Oh, Exchange Foods. Siapa orangnya? Mudah-mudahan bukan..."
"Wennie."
Ugh! Eyya mendadak pening mendengar nama itu. Mau komplain apa lagi nih orang, pikirnya.
"Sebel," cetus Eyya.
Biarpun nyaris tanpa suara, ucapan tadi sampai juga ke Mbak Rose, sang receptionist.
"Koq sebel?"
"Iya. Saya nggak suka sama customer yang satu ini. Bawel! Sebentar-sebentar komplain, ngadu ke boss," Eyya setengah curhat.
"Jadi nggak mau, pak?"
"Hhh. Mau lah," tukas Eyya cepat.
"Tadi katanya nggak mau."
"Abis gimana Mbak. Kalo nggak gitu, nanti dia ngadu ke boss. Bisa dapet report jelek di Mid Report Assessment."
"Apa tuh?""Penilaian Karyawan tahunan. Udah deh, tolong disambungin.
"Terdengar suara tuuut panjang dua kali sampai kemudian terdengar suara alto di ujung sana.
"Kinarya?"
"Yap."
"Hi, it's Wennie here."
Tau! Tukas Eyya - dalam hati tentunya.
"Look, I'd like to inform you that me and my other team members will visit your Plant."
"What??!!"
"Within this week."
"What???!!!" Eyya pusing. Dintara belasan customer di luar negeri sono, Wennie adalah customer paling ngeyel yang dia pernah temukan. Tak terbayangkan ketika nanti mereka ketemu. Bisa habis dibantai dirinya karena kalau sampai kesalahan-kesalahan kerjanya diumbar habis-habisan cewek itu.
"We gonna have a meeting your boss."
"Whatttt???!!!"
Jeda lagi. Sampai kemudian Wennie kembali bersuara. "It seems you do not expect the meeting."
"N-n-no. Off course not!" jawab Eyya buru-buru. Saking tergagap, bahasa Inggrisnya sempat berantakan. "Maksud saya, tentu saja saya mengharapkan meeting nanti. Ada beberapa yang perlu dibahas kan?"
"Sure?"
"Sure."
Wennie jelas tidak melihat bahwa pria di ujung telpon sana tengah melipat jari tengah dan telunjuknya. Yap, Eyya berbohong.Lagipula, pikir Eyya, siapa yang suka dengan customer Taiwan satu ini?
Urrrggh!!
***
"Halo," cetus Eyya malas ketika gagang telpon menyentuh telinganya.
"Halo, ada telpon pak."
"Dari?" tanyanya pada receptionist yang menelpon.
"Dari Eksceng Fud Singgapur," jawabnya rada medok.
"Oh, Exchange Foods. Siapa orangnya? Mudah-mudahan bukan..."
"Wennie."
Ugh! Eyya mendadak pening mendengar nama itu. Mau komplain apa lagi nih orang, pikirnya.
"Sebel," cetus Eyya.
Biarpun nyaris tanpa suara, ucapan tadi sampai juga ke Mbak Rose, sang receptionist.
"Koq sebel?"
"Iya. Saya nggak suka sama customer yang satu ini. Bawel! Sebentar-sebentar komplain, ngadu ke boss," Eyya setengah curhat.
"Jadi nggak mau, pak?"
"Hhh. Mau lah," tukas Eyya cepat.
"Tadi katanya nggak mau."
"Abis gimana Mbak. Kalo nggak gitu, nanti dia ngadu ke boss. Bisa dapet report jelek di Mid Report Assessment."
"Apa tuh?""Penilaian Karyawan tahunan. Udah deh, tolong disambungin.
"Terdengar suara tuuut panjang dua kali sampai kemudian terdengar suara alto di ujung sana.
"Kinarya?"
"Yap."
"Hi, it's Wennie here."
Tau! Tukas Eyya - dalam hati tentunya.
"Look, I'd like to inform you that me and my other team members will visit your Plant."
"What??!!"
"Within this week."
"What???!!!" Eyya pusing. Dintara belasan customer di luar negeri sono, Wennie adalah customer paling ngeyel yang dia pernah temukan. Tak terbayangkan ketika nanti mereka ketemu. Bisa habis dibantai dirinya karena kalau sampai kesalahan-kesalahan kerjanya diumbar habis-habisan cewek itu.
"We gonna have a meeting your boss."
"Whatttt???!!!"
Jeda lagi. Sampai kemudian Wennie kembali bersuara. "It seems you do not expect the meeting."
"N-n-no. Off course not!" jawab Eyya buru-buru. Saking tergagap, bahasa Inggrisnya sempat berantakan. "Maksud saya, tentu saja saya mengharapkan meeting nanti. Ada beberapa yang perlu dibahas kan?"
"Sure?"
"Sure."
Wennie jelas tidak melihat bahwa pria di ujung telpon sana tengah melipat jari tengah dan telunjuknya. Yap, Eyya berbohong.Lagipula, pikir Eyya, siapa yang suka dengan customer Taiwan satu ini?
Urrrggh!!
***
Sunday, March 22, 2009
FRIENDS FOREVER
Kinarya (cowok, 20, cute) adalah anak pertama dari keluarga tunggal Pak Setiawan yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi cadangan. Punya adik, Fitri (cewek, 7, I SD) yang adalah penderita autis. Eyya - panggilan Kinarya - DO dari perguruan tinggi karena masalah ekonomi yang lantas membawanya bekerja di sebuah PMA sebagai tenaga administrasi di bagian Logistic. Nasib baik membuatnya naik ke posisi export supervisor yang membuatnya harus banyak berhubungan dengan para pembeli/customer di luar negeri. Satu diantaranya adalah Wennie "Jutek" Chan, supply chain manager di Exchange Foods yang berbasis di Taiwan.
Hubungan Eyya dengan Wennie lebih banyak konflik. Sampai kemudian wanita itu datang selama 6 bulan dalam rangka implementasi sistim komputer yang ia harus pelajari di Indonesia, yaitu perusahaan tempat Kinarya bekerja. Sesuatu kemudian merubah pandangan Wennie. Si jutek tiba-tiba berubah. Tak dinyana itu ada kaitannya dengan penampilan Eyya selama beberapa kali di layar kaca pada audisi dan show Vocalist Indonesia 2009 yang tengah dijalaninya. Penyebab lain, ia mengagumi kegigihan Eyya dalam bekerja, tanggungjawab, pun ketulusannya merawat Fitri. Ini membuat Wennie menghargai sesuatu yang selama ini ia abaikan: nilai-nilai kehidupan.
Di saat hubungan mereka menghangat, sebuah badai baru menerpa Eyya. Wennie ternyata divonis menderita sakit kanker stadium III. Apa yang kemudian harus ia lakukan dalam menyikapinya.
Genre: Melodrama.
********
Hubungan Eyya dengan Wennie lebih banyak konflik. Sampai kemudian wanita itu datang selama 6 bulan dalam rangka implementasi sistim komputer yang ia harus pelajari di Indonesia, yaitu perusahaan tempat Kinarya bekerja. Sesuatu kemudian merubah pandangan Wennie. Si jutek tiba-tiba berubah. Tak dinyana itu ada kaitannya dengan penampilan Eyya selama beberapa kali di layar kaca pada audisi dan show Vocalist Indonesia 2009 yang tengah dijalaninya. Penyebab lain, ia mengagumi kegigihan Eyya dalam bekerja, tanggungjawab, pun ketulusannya merawat Fitri. Ini membuat Wennie menghargai sesuatu yang selama ini ia abaikan: nilai-nilai kehidupan.
Di saat hubungan mereka menghangat, sebuah badai baru menerpa Eyya. Wennie ternyata divonis menderita sakit kanker stadium III. Apa yang kemudian harus ia lakukan dalam menyikapinya.
Genre: Melodrama.
********
Bab 1.1.
“Apa???!!!”
“Nah elu denger sendiri kan? Denger kalo nama lu dipanggil.”
“Aphaaaahhh????!!!!”
“Buset. Heran sih heran, coy. Cuma nggak perlu pake muncratin ludah segala. Gue udah cuci muka. Udah facial segala, tau?”
“Gue salah kuping kali ya? Koq bisa-bisanya panitia manggil nama gue. Gue kan gak ikutan audisi! Salah manggil tuh orang.”
“Nggak salah denger lah. Soalnya gue juga denger nama lu dipanggil. Ya udah kalo gikut elu ikut aja. Gue juga rela elu ikutan.”
“Tapi nggak mungkin gue ikutan, coy!”
“Nggak mungkin knapa?”
“Pertama, gue nggak siap. Kedua, gue nggak pernah ngedaftar, okay? Dan ketiga – yang lebih gak mungkin lagi – elo narik-narik baju gue dari tadi!”
“Ups, sori.”
“Dan alesan ke-empat: Anu … suara gue kan fales.”
“Ah.”
“Sumpah!”
“Bener.”
“Kentut aja fales.”
“Sok merendah lu. Tengil!”
“Wueee, kan itu elu sendiri yang ngomong gitu.”
“Kapan?”
“Perasaan ampir tiap hari deh. Di Twenty One, di jalan, di tempat fitness, di rumah bonyok lu. Terakhir lu ngomong gitu kemaren sore jam lima lewat dua puluh di bawah pohon kesemek waktu nemenin gue pipis. Inget?”
“Enam-dua-lima! Panggilan buat Kinarya, peserta enam-dua-lima, segera masuk ruang audisi!”
Si pemuda imut 20an tahun berambut ikal dengan postur sedikit kurus terlihat kaget lagi - buat kesekiankalinya. “Gile! Itu yang dipanggil emang bener gue ya?”
“Ya eya-laaaah,” rekannya mastiin. Tanpa sadar kelingkingnya merogoh salah satu lubang hidungnya yang mendadak gatel.
“Ngupil lagi lu!” cetus pemuda-imut-20an-tahun tadi.
Rekannya buru-buru menghentikan ulah yang nampaknya memang sudah mendarahdaging itu. Rambutnya yang super gondrong sekarang disibak dengan ujung telunjuk. “Eh, lu tau gak? Berapa banyak sih orang yang namanya nyeleneh kayak nama lu? Udah deh, please sekarang elu masuk gih. Jangan sampe panitia nunggu lama-lama. Anggap aja ini kesempatan elu buat nongol di tivi.”
“Norak lu!”
“Atau, anggap aja ini kesempatan buat mejeng untuk …”
“Norak! Norak!”
“Ini tuh kesempatan ketemu vokalis yang elu demenin selama ini. Kalo…”
“Norak, tau! Elu tau kan kalo gue kesini buat nganter elu ikutan audisi. Bukan gue yang ngikut audisi.”
“Elu tuh lugu atau bleguk sih? Masa’ elu nggak ngerti juga?”
Pengeras suara di ruangan yang padat dengan duaratusan peserta audisi Vocalist Idol 2009 beserta tim pengantar masing-masing, bersuara lagi.
“Enam-dua-lima! Peserta nomor urut enam-dua-lima! Kinarya Setiawan!”
“Tuh kan, nama elu dipanggil lagi.”
Eyya atau Kinarya sekarang sadar sepenuhnya. Mendengar namanya disebut lengkap di pengeras suara – berkali-kali malah - otaknya tak perlu berputar lebih keras untuk tiba pada satu kesimpulan. Kesimpulan yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Astaga!” matanya melotot. Tapi Ajab - nama rekannya itu - hanya cengengesan. “J-jadi diem-diem elu ngedaftarin gue di audisi?”
“Yaa begitulah,” cetus Ajab. Super kalem.
“Pantesan sehabis audisi elu yang gagal tadi elu masih belum mau pulang. Elu tu bener-bener niat banget gue audisi ya?”
Ajab cengengesan lagi.
“Elu tuh ye. Koq bisa-bisanya ngedaftarin nama gue tanpa gue tau?!”
“Jangan tanya alesannya sekarang deh. Mending elu masuk sono. Jurinya nunggu.”
“Enam-dua-lima! Peserta nomor urut enam-dua-lima! Kinarya Kharisma Setiawan!”
“Tuh! Nama elu dipanggil lagi. Ayo cepetan masuk! Ini emang strategi gue, Man. Gue emang niat supaya elo yang audisi. Bukan gue. Udah deh, pliiiiis.”
“Gue nggak siap, tau?!”
Beberapa peserta audisi menoleh waktu Eyya berujar sedikit keras.
“Tapi Ben, yang namanya peluang bisa muncul di saat mendadak.”
“Sok tau! Contohnya siapa coba, hayo? Trus, dimana kejadiannya, kapan waktunya dan kronologinya kaya’ apa?”
“Bujubuneng. Waktunya udah kepepet begini masih nyari narasumber segala?”
“Panggilan terakhir. Peserta nomor enam-dua-lima!”
“Gue nggak siap, man.”
“Anjrit…” Ajab sutris – stress maksudnya.
“S-a-t-u!” Suara di pengeras suara mulai ngasih ultimatum.
“Gue gak siap buat hal mendadak kaya’ gini. Suwer!”
Ajab diam. Stok kata-katanya untuk membujuk Ben agar mengikuti kemauannya, mendadak habis dalam sekejap.
“Tengkyu banget buat atensi elu. Tapi gue gak bisa, Jab. Sori banget.”
“D-u-a!”
Di tengah beberapa pasang mata yang memperhatikan tingkah laku mereka, Ajab cuma bisa parah. Sejak setahun terakhir ini Ajab ingin sekali melihat Ben menonjolkan bakat nyanyinya yang selama ini terpendam sempurna. Dan gelar audisi Vocalist Idol 2009 mustinya bisa jadi jalan ke arah itu. Mustinya.
“T-i-g-a!”
Sayang, strategi Ajab dalam menjebak Ben untuk ikut audisi tidak berjalan seperti yang ia harapkan.
***
“Nah elu denger sendiri kan? Denger kalo nama lu dipanggil.”
“Aphaaaahhh????!!!!”
“Buset. Heran sih heran, coy. Cuma nggak perlu pake muncratin ludah segala. Gue udah cuci muka. Udah facial segala, tau?”
“Gue salah kuping kali ya? Koq bisa-bisanya panitia manggil nama gue. Gue kan gak ikutan audisi! Salah manggil tuh orang.”
“Nggak salah denger lah. Soalnya gue juga denger nama lu dipanggil. Ya udah kalo gikut elu ikut aja. Gue juga rela elu ikutan.”
“Tapi nggak mungkin gue ikutan, coy!”
“Nggak mungkin knapa?”
“Pertama, gue nggak siap. Kedua, gue nggak pernah ngedaftar, okay? Dan ketiga – yang lebih gak mungkin lagi – elo narik-narik baju gue dari tadi!”
“Ups, sori.”
“Dan alesan ke-empat: Anu … suara gue kan fales.”
“Ah.”
“Sumpah!”
“Bener.”
“Kentut aja fales.”
“Sok merendah lu. Tengil!”
“Wueee, kan itu elu sendiri yang ngomong gitu.”
“Kapan?”
“Perasaan ampir tiap hari deh. Di Twenty One, di jalan, di tempat fitness, di rumah bonyok lu. Terakhir lu ngomong gitu kemaren sore jam lima lewat dua puluh di bawah pohon kesemek waktu nemenin gue pipis. Inget?”
“Enam-dua-lima! Panggilan buat Kinarya, peserta enam-dua-lima, segera masuk ruang audisi!”
Si pemuda imut 20an tahun berambut ikal dengan postur sedikit kurus terlihat kaget lagi - buat kesekiankalinya. “Gile! Itu yang dipanggil emang bener gue ya?”
“Ya eya-laaaah,” rekannya mastiin. Tanpa sadar kelingkingnya merogoh salah satu lubang hidungnya yang mendadak gatel.
“Ngupil lagi lu!” cetus pemuda-imut-20an-tahun tadi.
Rekannya buru-buru menghentikan ulah yang nampaknya memang sudah mendarahdaging itu. Rambutnya yang super gondrong sekarang disibak dengan ujung telunjuk. “Eh, lu tau gak? Berapa banyak sih orang yang namanya nyeleneh kayak nama lu? Udah deh, please sekarang elu masuk gih. Jangan sampe panitia nunggu lama-lama. Anggap aja ini kesempatan elu buat nongol di tivi.”
“Norak lu!”
“Atau, anggap aja ini kesempatan buat mejeng untuk …”
“Norak! Norak!”
“Ini tuh kesempatan ketemu vokalis yang elu demenin selama ini. Kalo…”
“Norak, tau! Elu tau kan kalo gue kesini buat nganter elu ikutan audisi. Bukan gue yang ngikut audisi.”
“Elu tuh lugu atau bleguk sih? Masa’ elu nggak ngerti juga?”
Pengeras suara di ruangan yang padat dengan duaratusan peserta audisi Vocalist Idol 2009 beserta tim pengantar masing-masing, bersuara lagi.
“Enam-dua-lima! Peserta nomor urut enam-dua-lima! Kinarya Setiawan!”
“Tuh kan, nama elu dipanggil lagi.”
Eyya atau Kinarya sekarang sadar sepenuhnya. Mendengar namanya disebut lengkap di pengeras suara – berkali-kali malah - otaknya tak perlu berputar lebih keras untuk tiba pada satu kesimpulan. Kesimpulan yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Astaga!” matanya melotot. Tapi Ajab - nama rekannya itu - hanya cengengesan. “J-jadi diem-diem elu ngedaftarin gue di audisi?”
“Yaa begitulah,” cetus Ajab. Super kalem.
“Pantesan sehabis audisi elu yang gagal tadi elu masih belum mau pulang. Elu tu bener-bener niat banget gue audisi ya?”
Ajab cengengesan lagi.
“Elu tuh ye. Koq bisa-bisanya ngedaftarin nama gue tanpa gue tau?!”
“Jangan tanya alesannya sekarang deh. Mending elu masuk sono. Jurinya nunggu.”
“Enam-dua-lima! Peserta nomor urut enam-dua-lima! Kinarya Kharisma Setiawan!”
“Tuh! Nama elu dipanggil lagi. Ayo cepetan masuk! Ini emang strategi gue, Man. Gue emang niat supaya elo yang audisi. Bukan gue. Udah deh, pliiiiis.”
“Gue nggak siap, tau?!”
Beberapa peserta audisi menoleh waktu Eyya berujar sedikit keras.
“Tapi Ben, yang namanya peluang bisa muncul di saat mendadak.”
“Sok tau! Contohnya siapa coba, hayo? Trus, dimana kejadiannya, kapan waktunya dan kronologinya kaya’ apa?”
“Bujubuneng. Waktunya udah kepepet begini masih nyari narasumber segala?”
“Panggilan terakhir. Peserta nomor enam-dua-lima!”
“Gue nggak siap, man.”
“Anjrit…” Ajab sutris – stress maksudnya.
“S-a-t-u!” Suara di pengeras suara mulai ngasih ultimatum.
“Gue gak siap buat hal mendadak kaya’ gini. Suwer!”
Ajab diam. Stok kata-katanya untuk membujuk Ben agar mengikuti kemauannya, mendadak habis dalam sekejap.
“Tengkyu banget buat atensi elu. Tapi gue gak bisa, Jab. Sori banget.”
“D-u-a!”
Di tengah beberapa pasang mata yang memperhatikan tingkah laku mereka, Ajab cuma bisa parah. Sejak setahun terakhir ini Ajab ingin sekali melihat Ben menonjolkan bakat nyanyinya yang selama ini terpendam sempurna. Dan gelar audisi Vocalist Idol 2009 mustinya bisa jadi jalan ke arah itu. Mustinya.
“T-i-g-a!”
Sayang, strategi Ajab dalam menjebak Ben untuk ikut audisi tidak berjalan seperti yang ia harapkan.
***
Friday, March 20, 2009
Nulis Buku Novel - Let's start it....
Gue demen banget kalo nulis novel yang diawali dengan ketegangan atau komedi (kalo mau bikin yang ngocol) yang meledak-ledak. Biasanya kalo begitu, kelanjutannya bakal mulus banget.
Saat bagian di bawah ini gue tulis, gue masih belum tau mau diapain cerita ini lanjutannya. Pokoknya nulis terus. Ini bukan metode baru, NO! Asmaraman Kho Ping Hoo ngelakuin dari kapan tau. Dan gue ngekorin. Liat aja.
Yang kelintas di kepala gue saat ini ialah: cerita tentang persahabatan antara 2 cowok dengan latar belakang yang jelas-jelas berbeda. Silahkan liat di label 'Friends Forever.'
Let the story begins.......
Saat bagian di bawah ini gue tulis, gue masih belum tau mau diapain cerita ini lanjutannya. Pokoknya nulis terus. Ini bukan metode baru, NO! Asmaraman Kho Ping Hoo ngelakuin dari kapan tau. Dan gue ngekorin. Liat aja.
Yang kelintas di kepala gue saat ini ialah: cerita tentang persahabatan antara 2 cowok dengan latar belakang yang jelas-jelas berbeda. Silahkan liat di label 'Friends Forever.'
Let the story begins.......
****
Mau Nulis Buku atau Novel?
Membuat buku atau novel memang sudah pasti akan membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak dibandingkan membuat tulisan pendek seperti cerpen, opini atau artikel.
I. BUKU PANDUAN
Buku yang dimaksud disini adalah buku panduan atau non fiksi. Sampai saat ini baru satu judul buku yang pernah Penulis buat. Dan berkaca dari pengalaman maka untuk membuat buku kategori ini, kita perlu dibekali pengetahuan yang memadai demi menjaga kualitas/konten buku tersebut. Untuk sementara Penulis tidak banyak berdiskusi untuk topik ini.
II. NOVEL
Khusus untuk novel, secara garis besar yang perlu dilakukan adalah:
* Langkah pertama: mencari/mendapatkan ide
* Langkah kedua: ide dikembangkan menjadi sinopsis. Di tahap ini kita juga sudah harus menentukan karakteristik para tokohnya.
* Langkah ketiga: sinopsis dikembangkan menjadi storyline
* Langkah keempat: storyline dikembangkan menjadi draft awal
* Langkah kelima: draft awal disempurnakan untuk menjadi draft akhir
TIPS:
Dalam membuat novel ada begitu banyak hal yang perlu diperhatikan. Beberapa di antaranya:
1. Perombakan nama tokoh, tempat, serta lokasi kejadian, dan bahkan struktur cerita, masih diperbolehkan hingga tahap pembuatan storyline. Setelah memasuki draft awal, semua itu ditabukan.
2. Momok paling menentukan adalah kebuntuan. Deadlock. Tapi selama semangat menulis tetap membara dan selalu berdoa minta kepinteran sama Yang Maha Kuasa, percayalah, deadlock hanyalah kerikil kecil yang dengan mudah kita cemplungin ke got.
3. Metode pembuatan sinopsis 3 babak bukan metode baku. Penulis bisa membuat dengan format lain. Kendati demikian, sinopsis 3 babak merupakan pola yang paling banyak dipakai dalam pembuatan sebuah cerita berdurasi panjang.
4. Hindari tokoh atau kejadian yang mendadak muncul di tengah cerita dan akibat berdampak bahwa kemunculannya 'maksain.' Jika hal itu mau dilakukan, perlu ada 'tabungan informasi' di awal cerita.
5. Hati-hati dengan pemberian nama tokoh. Kemunculan tokoh (bukan tokoh utama) yang diberi nama, harus punya tujuan. Entah dengan cara akan muncul lagi di bagian berikut, atau akan memberi unsur kejutan bagi pembaca. Nama tokoh yang terlalu banyak akan membuat pembaca dibingungkan.
Kita akan praktek langsung dalam pertemuan-pertemuan berikutnya.
* Langkah pertama: mencari/mendapatkan ide
* Langkah kedua: ide dikembangkan menjadi sinopsis. Di tahap ini kita juga sudah harus menentukan karakteristik para tokohnya.
* Langkah ketiga: sinopsis dikembangkan menjadi storyline
* Langkah keempat: storyline dikembangkan menjadi draft awal
* Langkah kelima: draft awal disempurnakan untuk menjadi draft akhir
TIPS:
Dalam membuat novel ada begitu banyak hal yang perlu diperhatikan. Beberapa di antaranya:
1. Perombakan nama tokoh, tempat, serta lokasi kejadian, dan bahkan struktur cerita, masih diperbolehkan hingga tahap pembuatan storyline. Setelah memasuki draft awal, semua itu ditabukan.
2. Momok paling menentukan adalah kebuntuan. Deadlock. Tapi selama semangat menulis tetap membara dan selalu berdoa minta kepinteran sama Yang Maha Kuasa, percayalah, deadlock hanyalah kerikil kecil yang dengan mudah kita cemplungin ke got.
3. Metode pembuatan sinopsis 3 babak bukan metode baku. Penulis bisa membuat dengan format lain. Kendati demikian, sinopsis 3 babak merupakan pola yang paling banyak dipakai dalam pembuatan sebuah cerita berdurasi panjang.
4. Hindari tokoh atau kejadian yang mendadak muncul di tengah cerita dan akibat berdampak bahwa kemunculannya 'maksain.' Jika hal itu mau dilakukan, perlu ada 'tabungan informasi' di awal cerita.
5. Hati-hati dengan pemberian nama tokoh. Kemunculan tokoh (bukan tokoh utama) yang diberi nama, harus punya tujuan. Entah dengan cara akan muncul lagi di bagian berikut, atau akan memberi unsur kejutan bagi pembaca. Nama tokoh yang terlalu banyak akan membuat pembaca dibingungkan.
Kita akan praktek langsung dalam pertemuan-pertemuan berikutnya.
Stay tune!
Marthino Andries
Penulis 10 novel, 1 buku panduan, beberapa skenario komedi-situasi, cerpen, artikel, drama dan opini.
Thursday, March 19, 2009
There's book inside you!
Ungkapan diatas itu bukan datang dari saya. Tapi saya menyadari kedahsyatan pernyataan penuh motivasi demikian.
Banyak orang yang ingin sekali menerbitkan buku sendiri. Mereka belajar sedemikian rupa dan menghabiskan waktu, tenaga serta dana yang tidak sedikit. Banyak sekali yang gagal, beberapa orang sukses luar biasa dan tidak sedikit pula yang hanya mencapai tahap 'bisa membuat naskah' tanpa mengalami kesuksesan yang signifikan - secara finansial tentunya.
Ada berbagai kendala mengapa itu terjadi. Namun pada kesempatan kali ini ada satu hal yang saya ingin singgung, yaitu: talenta.
Ya, jangan sekali-kali menganggap enteng dengan talenta atau bakat. Di buku saya "Bikin Novel Ngocol Yuk?" saya dengan tegas menyatakan bahwa hanya yang memiliki bakat saja yang bisa mencapai keberhasilan. Banyak motivator penulis buku yang, menurut saya, tidak fair. Dalam rangka mendongkrak penjualan buku tentang teknik menulis (cerpen, skenario, drama, novel, atau apapun) mereka mengatakan bahwa semua orang tanpa kecuali bisa menjadi penulis asalkan mereka punya kemauan dahsyat buat belajar. Ungkapan ini berbahaya dan tentu saja akan menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka yang terlanjung berkorban segalanya. Pada akhirnya mereka akan mendapati bahwa mereka ternyata tidak sanggup menjadi penulis sesuai cita-cita mereka.
Belajar menulis atau mengarang tidak cukup dilakukan dengan modal semangat. Namun belajar tanpa semangat membara kendati memiliki segudang talenta pun tidak banyak artinya. Sudah terlalu banyak orang-orang bertalenta besar yang saya temui dan saya ajak untuk menjadi penulis namun dengan berbagai alasan mereka lebih suka untuk menjadi sekedar pembaca - dan penonton. Jika demikian, apakah seseorang yang tidak memiliki talenta tidak dapat melanjutkan impian untuk menjadi seorang penulis?
Banyak orang yang ingin sekali menerbitkan buku sendiri. Mereka belajar sedemikian rupa dan menghabiskan waktu, tenaga serta dana yang tidak sedikit. Banyak sekali yang gagal, beberapa orang sukses luar biasa dan tidak sedikit pula yang hanya mencapai tahap 'bisa membuat naskah' tanpa mengalami kesuksesan yang signifikan - secara finansial tentunya.
Ada berbagai kendala mengapa itu terjadi. Namun pada kesempatan kali ini ada satu hal yang saya ingin singgung, yaitu: talenta.
Ya, jangan sekali-kali menganggap enteng dengan talenta atau bakat. Di buku saya "Bikin Novel Ngocol Yuk?" saya dengan tegas menyatakan bahwa hanya yang memiliki bakat saja yang bisa mencapai keberhasilan. Banyak motivator penulis buku yang, menurut saya, tidak fair. Dalam rangka mendongkrak penjualan buku tentang teknik menulis (cerpen, skenario, drama, novel, atau apapun) mereka mengatakan bahwa semua orang tanpa kecuali bisa menjadi penulis asalkan mereka punya kemauan dahsyat buat belajar. Ungkapan ini berbahaya dan tentu saja akan menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka yang terlanjung berkorban segalanya. Pada akhirnya mereka akan mendapati bahwa mereka ternyata tidak sanggup menjadi penulis sesuai cita-cita mereka.
Belajar menulis atau mengarang tidak cukup dilakukan dengan modal semangat. Namun belajar tanpa semangat membara kendati memiliki segudang talenta pun tidak banyak artinya. Sudah terlalu banyak orang-orang bertalenta besar yang saya temui dan saya ajak untuk menjadi penulis namun dengan berbagai alasan mereka lebih suka untuk menjadi sekedar pembaca - dan penonton. Jika demikian, apakah seseorang yang tidak memiliki talenta tidak dapat melanjutkan impian untuk menjadi seorang penulis?
Jawabannya adalah: KOLABORASI.
Saya sangat yakin bahwa kendati seseorang tidak memiliki talenta besar dalam menulis sebuah buku secara utuh dari awal hingga akhir, ia tetap dapat cukup 'bertalenta' untuk menjadi pencetus ide cerita atau dalam bentuk sinopsis. Kalau talenta itu lebih besar, ia bisa menjadi pembuat storyline/alur cerita. Dan kalau ia bertalenta kuat, barulah ia bisa menjadi pembuat Draft atau buku secara utuh.
Secara garis besar tahap pembuatan buku atau novel adalah:
a. ide
b. sinopsis (plus karakteristik tokoh) c. storyline d. draft, yaitu: draft awal dan draft akhir
Mungkin talenta kita hanya hingga tahap 'c' atau 'b' dan bahkan 'a' saja. Namun, ada sesuatu tentang ide yang perlu kita ketahui bersama. Tahukah anda bahwa untuk sebuah ide, selama itu cukup 'gila' untuk dijadikan sebuah buku, tetap akan ada orang yang mau membelinya! Ingat cerita tentang meteor menghunjam bumi? Saat ide itu terlontar, entah siapa yang membocorkan terlebih dulu, pada akhirnya dua buah studio film Holywood berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan karya film mereka. Pada akhirnya "Deep Impact" dan "Armageddon" dirilis hanya dalam selisih waktu beberapa hari saja.
So, tertarik untuk menulis buku? Saya ajak Anda untuk mengikuti Blog ini karena Saya akan mencoba membantu sekuat tenaga. Saya berharap Anda, rekan2 Anda, kita semua, bisa berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang cukup oke di mata seorang redaksi yang kemudian meng-oke-kan juga buku terbitan Anda. Kalau pun toh ternyata hanya Saya sendiri, it's gonna be okay. Karena itu juga memperkaya kemampuan saya.
Secara garis besar tahap pembuatan buku atau novel adalah:
a. ide
b. sinopsis (plus karakteristik tokoh) c. storyline d. draft, yaitu: draft awal dan draft akhir
Mungkin talenta kita hanya hingga tahap 'c' atau 'b' dan bahkan 'a' saja. Namun, ada sesuatu tentang ide yang perlu kita ketahui bersama. Tahukah anda bahwa untuk sebuah ide, selama itu cukup 'gila' untuk dijadikan sebuah buku, tetap akan ada orang yang mau membelinya! Ingat cerita tentang meteor menghunjam bumi? Saat ide itu terlontar, entah siapa yang membocorkan terlebih dulu, pada akhirnya dua buah studio film Holywood berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan karya film mereka. Pada akhirnya "Deep Impact" dan "Armageddon" dirilis hanya dalam selisih waktu beberapa hari saja.
So, tertarik untuk menulis buku? Saya ajak Anda untuk mengikuti Blog ini karena Saya akan mencoba membantu sekuat tenaga. Saya berharap Anda, rekan2 Anda, kita semua, bisa berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang cukup oke di mata seorang redaksi yang kemudian meng-oke-kan juga buku terbitan Anda. Kalau pun toh ternyata hanya Saya sendiri, it's gonna be okay. Karena itu juga memperkaya kemampuan saya.
Harapan saya blog ini bisa mencerahkan. Baik untuk Anda maupun untuk saya sendiri.
Wassalam,
Marthino Andries
Wassalam,
Marthino Andries
Subscribe to:
Posts (Atom)